Kabar kurang menyenangkan dari kondisi terkini penyakit tuberkolosis (TBC) di Indonesia. Jumlahnya yang kian meningkat menjadi alarm peringatan bagi seluruh tenaga kesehatan dan masyarakat secara luas.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan bahwa jumlah kasus tuberkulosis (TBC) di Indonesia terus meningkat. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes yakni Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan bahwa Indonesia kini menempati posisi kedua dengan kasus TBC terbanyak di dunia.
"Ini adalah kabar yang kurang menggembirakan karena, jika melihat tingkat kejadian, pada tahun 2019 kita sudah mencapai 301 per 100.000 atau setara dengan 824.000 kasus baru setiap tahun," ungkap Maxi dalam sebuah acara di Jakarta Selatan, Selasa (26/7/2023), seperti dilansir oleh Detikcom.
"Namun, pada tahun 2021, WHO melaporkan peningkatan tingkat kejadian menjadi 356 per 100.000 atau sekitar 969.000 kasus baru setiap tahun, mendekati angka 1 juta," imbuh Maxi.
"Kita menjadi negara peringkat kedua di dunia. India menempati peringkat pertama, sementara China seharusnya menempati peringkat kedua, tetapi penanganan TBC di China sangat efektif sehingga mereka turun ke peringkat ketiga sekarang," tambahnya.
Menurut Maxi ada beberapa hal yang membuat Indonesia menyalip China untuk negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia. Salah satu yang utama adalah okus pemerintah Indonesia pada vaksinasi COVID-19 selama pandemi juga menjadi faktor yang mempengaruhi.
"Kita tahu bahwa selama dua tahun terakhir, program-program esensial di Indonesia, termasuk TBC, tidak berjalan maksimal, sehingga angka kejadian TBC meningkat. Sementara itu, China memiliki penanganan TBC yang sangat baik," jelasnya.
Maxi turut menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam pendekatan antara Indonesia dan China dalam menghadapi peningkatan kasus TBC. Tapi, menurutnya, China memiliki proses skrining yang lebih efektif.
"Prinsip penanganan TBC di Indonesia dan China sebenarnya sama. Hanya saja, skrining di China mungkin lebih baik dan masyarakatnya juga lebih mudah melakukan skrining," tambahnya.
Selanjutnya, Maxi juga menyoroti bahaya dari TB laten yang diduga menjadi salah satu faktor peningkatan kasus TBC. TB laten sendiri merujuk pada kasus TBC tanpa gejala klinis.
"Kita harus menemukan kasus TB laten atau yang tidak menunjukkan gejala klinis. Ini adalah hal yang harus ditangani, dan hingga saat ini masih cukup rendah di Indonesia," ujarnya.
"Jika kita bisa menyembuhkan para pasien dengan 900 ribu kasus tersebut, namun jika TB laten tidak ditangani, pasien yang sembuh sebelumnya berpotensi kembali jatuh sakit TBC, dan ini bisa berlanjut begitu terus. China berhasil mengatasi hal ini dengan efektif, di mana mereka dapat mengatasi pengidap TB laten dengan baik," imbuh Maxi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri pada November 2022 sudah mencanangkan target agar pemeriksaan TBC 60.000 kasus per bulan mulai Januari tahun 2023. Upaya ini dilakukan untuk mendukung eliminasi TBC pada tahun 2030.
Menkes mengatakan bahwa penambahan target tersebut dilakukan untuk mendorong peningkatan pemeriksaan TBC yang saat ini masih rendah. Dari target insiden TBC sebanyak 969 ribu kasus pada tahun 2021, baru 50-60% atau sekitar 500-600 ribu kasus yang berhasil ditemukan.
Menkes kemudian membandingkannya dengan laju pemeriksaan COVID-19. Meski sama-sama melalui metode molekuler, ada 6,5 juta kasus by name by address COVID-19 yang bisa dideteksi. Ada pun COVID-19 memakai PCR di saat TBC dengan TCM.
Menurutnya, pengendalian TBC dapat mencontoh penanganan pandemi COVID-19. Mulai dari strategi penguatan aktivitas testing, tracing, dan treatment (3T) guna mempercepat penemuan kasus aktif di masyarakat. Hal ini penting mengingat TBC merupakan penyakit menular, sehingga mendesak untuk ditemukan dan diobati.