Upaya penurunan menurunkan angka stunting mulai membuahkan hasil. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengumumkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 turun menjadi 21,6%. Pada 2021, angkanya bahkan berada di angka 24,4%.
Ini diumumkan oleh Kemenkes dalam Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Rabu pekan lalu (25/1/2023). Beberapa provinsi yang melaporkan penurunan terbanyak adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara serta Banten. Capaian ini juga terjadi pada masa pandemik COVID-19.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berharap di masa yang normal, penurunan kasus stunting diharapkan bisa lebih tajam lagi.
"Metode survei (Survei Status Gizi Indonesia/SSGI, red.) seperti ini sudah kita lakukan selama 3 tahun, bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Kita akan perbaiki ke depannya kalau bisa by name by address," ujar Menkes Budi seperti dilansir oleh laman resmi Kemenkes.
"Kita usahakan ke sana, tapi kita secara bertahap tetap memakai metode pengukuran yang memang sudah sebelumnya dilakukan," imbuhnya.
Berbicara dalam forum yang sama, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa stunting tak hanya tentang tinggi badan. Bahaya yang ikut mengintai adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, serta munculnya penyakit-penyakit kronis.
"Oleh sebab itu target yang saya sampaikan 14% di tahun 2024. Ini harus bisa kita capai, saya yakin dengan kekuatan kita bersama semuanya bisa bergerak. Angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama," papar Jokowi.
Infrastruktur dan lembaga yang ada disebut harus digerakkan untuk memudahkan menyelesaikan persoalan stunting. Dari lingkungan mulai dari air bersih, sanitasi, rumah yang sehat, ini merupakan kerja terintegrasi dan harus terkonsolidasi.
"Jadi target 14% itu bukan target yang sulit hanya kita mau atau tidak mau. Asalkan kita bisa mengonsolidasikan semuanya dan jangan sampai keliru cara pemberian gizi," ungkap Jokowi.
Standar prevalensi stunting menurut WHO sendiri adalah kurang dari 20%. Alhasil, Kemenkes dan abanyak pihak terkait harus bekerja keras menurunkan persentasenya sekitar 3,8 persen selama dua tahun berturut-tutut, dan dimulai pada 2023 ini. Selain itu, Kemenkes sudah rutin melakukan SSGI. Jika sebelumnya hanya 3-5 tahun sekali, berubah menjadi setiap tahun.
Kementerian Kesehatan sendiri menyebut bahwa intervensi spesifik melalui dua cara utama yakni intervensi gizi pada ibu sebelum dan saat hamil, serta intervensi pada anak usia 6 sampai 2 tahun.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo kembali menegaskan ada lima cara menurunkan stunting berdasarkan Perpres nomor 72 tahun 2021. Antara lain komitmen, pencegahan stunting, harus bisa melakukan konvergensi, menyediakan pangan yang baik, dan melakukan inovasi terobosan dan data yang baik.
"Inilah pilar yang kita tegakkan dan kami terima kasih kepada seluruh kementerian dan lmbaga yang mendukung. Pak Menkes dengan menyediakan USG dan alat-alat ukur terstandar yang baik sekali," ungkap Hasto.
Stunting sendiri masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang kompleks, sebab tak selalu berkaitan dengan kondisi finansial masyarakat kelas bawah. Data terbaru dari Kemenkes menyebut bahwa ada 2 juta perempuan yang menikah pada 2022. Dari angka tersebut, ada 1,6 kehamilan di tahun pertama. Tapi jumlah kasus stunting masih berada di level 400 ribu.
Alhasil, Kementerian Agama bahkan sudah menerbitkan kebijakan bahwa calon pengantin harus diperiksa 3 bulan sebelum menikah. Jika ditemukan anemia atau kurang gizi, sang calon pengantin diimbau menunda kehamilan.