Pencarian

Apa Saja Faktor Pendorong Perawat Indonesia untuk Bekerja di Luar Negeri?

post-title

Sejak jalur untuk bekerja di luar negeri terbuka berkat kerja sama pemerintah Indonesia dengan beberapa negara sahabat (Goverment to Government) pada dekade 1990-an, minat perawat untuk merantau memang meningkat.

Pandemik COVID-19 juga menyadarkan dunia kesehatan bahwa jumlah perawat yang menurun di negara tertentu membuat mereka harus "mengimpor" dari negeri lain. Tentu saja ini sebagai langkah antisipatif atas masalah penyakit menular.

Umumnya, orang beranggapan ada beberapa faktor pendorong perawat Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Seperti kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri, terbatasnya peluang karier, rendahnya keamanan di tempat kerja, buruknya situasi saat bekerja, serta rendahnya gaji yang didapatkan.

Upah di luar negeri pun sangat tinggi dibanding di Indonesia. Contohnya di Kuwait yang mencapai Rp22 juta dan Jerman dengan kisaran Rp35 juta. Tapi, apakah ini semua sudah cukup untuk membuat perawat membulatkan tekad mengepak koper dan kemudian langsung terbang ke luar negeri?

Ternyata tidak. Peneliti dari Universitas Airlangga Surabaya, Gading Ekapuja Aurizki, dalam artikel berjudul "Indonesia’s Considerable Challenges to be a Major Nursing Exporter Amidst Surplus" yang diterbitkan Stratsea pada Mei 2021 silam, menyebut masih ada beberapa faktor yang memengaruhinya.

Pertama, ada persepsi bahwa "bekerja di luar negeri tak sepadan dengan perngorbanan" yang harus sang perawat ambil. Termasuk meninggalkan keluarga untuk sementara waktu. Seperti yang sudah dibahas di artikel sebelumnya, perempuan masih banyak yang belum bisa menentukan arah kariernya sendiri.

Kedua, mereka sudah bertugas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga mereka enggan melepas potensi bisa menapaki jenjang karier yang sudah pasti. Terlebih anggapan masyarakat Indonesia bahwa bekerja di lembaga pemerintahan berarti hidup yang lebih terjamin. Entah itu dari sisi finansial atau status sosial.

Ketiga, hanya sedikit yang benar-benar bulat tekadnya berniat bekerja di luar negeri. Gading menemukan bahwa dari 90 persen responden, cuma 50 persen yang punya rencana konkret untuk mewujudkannya. Mereka umumnya baru lulus dari pendidikan keperawatan, tinggal di luar Pulau Jawa, menguasai minimal satu bahasa asing, dan sudah pernah berkunjung ke luar negeri.

Di sisi lain, gaji ternyata bukan prioritas utamanya. Memang menggiurkan, tapi masih ada niatan untuk mendapat lebih banyak pengalaman kerja dan mengembangkan karier. Kualitas perawat, fasilitas teknologi di luar negeri bisa membuat perawat Indonesia belajar lebih banyak hal terkait profesi mereka.

Namun, jika seorang perawat sudah nyaman dengan pekerjaan yang didapat di dalam negeri, maka ia enggan meninggalkan zona nyaman, bekerja dekat dari rumah dan keluarga. Tapi, bagi yang mencari tantangan di luar Indonesia, si perawat pun harus lebih dulu melalui seleksi ketat.


Tak cuma kompetensi yang dinilai, calon perawat yang bekerja di luar negeri pun harus belajar bahasa asing. Entah itu bahasa Inggris melalui TOEFL atau IELTS, bahasa Jerman dengan Test Deutsch als Fremdsprache (TestDaF), Japanese Language Proficiency Test (JLPT) pada bahasa Jepang dan Test of Arabic as Foreign Language (TOAFL) saat bekerja di negeri-negeri berbahasa Arab.

Memang, negara-negara yang menjalin kerja sama dengan Indonesia memang sangat membutuhkan perawat. Tapi, mereka tak mau berkompromi untuk perkara kompetensi dan penguasaan bahasa asing yang jadi syarat utama.

Dengan potensi surplus perawat yang diperkirakan mencapai 250 ribu orang, Gading Ekapuja menulis bahwa masih ada dua hal penghalang lain untuk mengirim lebih banyak perawat ke luar negeri. Dan ini berada di tataran pemerintah pusat.

"Harus ada keseimbangan tiga faktor; kebutuhan dalam negeri, peluang luar negeri, dan minat perawat Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Keseimbangan ini dipastikan dari analisis pasar tenaga kerja keperawatan dan kebijakan terkaitnya, secara global," tulis lulusan University of Manchester UK tersebut.

Kemudian, sistem pendidikan di Indonesia tidak atau belum berorientasi ekspor ke negeri-negeri yang membutuhkan. Memang bahan ajar sudah hampir menyamai kurikulum internasional seperti ASEAN Nursing Common Core Competencies, plus standar akreditasi internasional seperti AUN-QA dan ASIIN. Tapi, minatnya masih terbatas. Belum lagi jika menyinggung kemampuan berbahasa asing.

Jadi, apakah pemerintah Indonesia dan lembaga pendidikan siap untuk mengirim tenaga perawat yang dibutuhkan oleh negara-negara sahabat?

(Kredit foto : sehatnegeriku.kemenkes.go.id)


Referensi :

Samhudi, G. R., Anindya, C. R., & Ilahi, D. S. (2022, January 4). Galby R. Samhudi. Stratsea. Retrieved September 8, 2022, from https://stratsea.com/indonesias-considerable-challenges/ 

Writers, S. (2022, August 29). Post-pandemic nursing shortage: What it means for aspiring nurses. NurseJournal. Retrieved September 8, 2022, from https://nursejournal.org/articles/post-pandemic-nursing-shortage/ 

Twitter