Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Kamis malam (20/10/2022) mengumumkan ada lima obat sirop dengan kandungan senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas yang ditetapkan. Ini merupakan hasil investigasi terkait penyebab gagal ginjal akut pada anak di Indonesia, dengan jumlah kasus sudah mencapai 200.
Ada 39 bets dari 26 sirop obat yang diuji hingga Rabu lalu (19/10/2022), dan terdapat lima produk dengan cemaran EG dan DEG melebihi 0,5 mg/kg berat badan per hari, yang menjadi ambang batas aman (Tolerable Daily Intake).
Ke lima jenis obat sirop tersebut adalah :
1. Termorex Sirup (obat demam)
Diproduksi PT. Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
2. Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu)
Diproduksi PT. Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
3. Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu)
Diproduksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
4. Unibebi Demam Sirup (obat demam)
Diproduksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
5. Unibebi Demam Drops (obat demam), Diproduksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Para pelaku industri farmasi sudah diperintahkan oleh BPOM untuk segera menarik seluruh bets produk tersebut dari pasaran. Perintah serupa juga berlaku untuk Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
Namun, seperti apa bahaya dari EG dan DEG ini? Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Prof. apt. Muchtaridi, PhD, menjelaskan bahwa dua senyawa tersebut merupakan senyawa pelarut organik dengan rasa manis yang kerap disalahgunakan untuk pelarut obat. Lantaran kelarutan dan rasa manisnya, dua senyawa tersebut kerap digunakan untuk mengganti propilen glikol atau polietiken glikol, yang harusnya tidak boleh dilakukan.
"Masalahnya, dietilen glikol dan etilen glikol mengalami oksidasi oleh enzim," kata Prof. Muchtaridi seperti dilansir oleh laman resmi Universitas Padjadjaran, Rabu lalu (19/10/2022).
"Ketika masuk ke tubuh, senyawa ini mengalami oksidasi oleh enzim sehingga menjadi glikol aldehid kemudian kembali dioksidasi menjadi asam glikol oksalat dan kemudian membentuk lagi menjadi asam oksalat. Asam oksalat inilah yang memicu membentuk batu ginjal," imbuhnya.
Asam oksalat jika sudah mengkristal akan berbahaya sebab berbentuk seperti jarum tajam. Level kelarutan asam oksalat juga sangat kecil, sehingga akan tebentuk garam yang sukar larut dalam air jika bertemu kalsium. Jika kemudian menuju ginjal, maka organ vital tersebut akan cedera.
"Jika kondisi ini terjadi pada anak-anak yang notabene memiliki ukuran ginjal lebih kecil, dampak yang ditimbulkan akan parah. Tidak hanya memapar di ginjal, efeknya juga bisa lari ke jantung dan juga bisa memicu kematian yang cepat," jelas Prof. Muchtariadi.
"Yang paling berbahaya ketika kondisi ini terjadi di negara-negara kering. Kondisi dehidrasi akan mempercepat pembentukan asam oksalatnya. Contohnya seperti di Gambia," sambungnya.
Meski sudah dilarang oleh peraturan internasional dan Food and Drug Administration (FDA), ia menyebut masih ada oknum produsen "bandel" yang nekat menggunakan senyawa etilen glikol dan dietilen glikol dalam kadar melebihi ambang batas. Alasannya, karena mudah diproduksi dan lebih murah ketimbang jenis pelarut lainnya.
Prof. Muchtariadi sendiri menyebut pihak Kemnerian Kesehatan dan BPOM masih harus menyelesaikan investigasi penyebab gagal ginjal akut pada anak, yang disebut sangat mirip dengan apa yang terjadi di Gambia kini. Kemenkes sendiri sudah menyarankan untuk menggunakan obat puyer pada anak-anak sebagai pengganti obat sirop.
Hingga hari Selasa (19/10/2022), sudah ada 206 anak-anak yang dilaporkan harus dirawat akibat gagal ginjal akut di 20 provisni. Sebanyak 99 diantaranya meninggal dunia.