Spesialisasi Keperawatan Jiwa memang masih belum mengundang minat banyak calon perawat. Padahal, masyarakat Indonesia sudah mulai melek dengan masalah kejiwaan dalam satu dekade terakhir. Ini tak lepas dari data nasional yang cukup memprihatinkan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menyebut bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Selain itu lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Sedangkan dalam Sistem Registrasi Sampel oleh Badan Litbangkes pada 2016, didapatkan data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang. Atau, setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri. Sebanyak 47,7% korban bunuh diri berasal dari kelompok usia 10-39 tahun.
Spesialisasi Keperawatan Jiwa sendiri jadi panggilan bagi Riska Amalya, seorang Dosen Keperawatan Jiwa di Universitas Jambi. Ia mengabdikan diri untuk membangun literasi tentang masalah kejiwaan melalui platform online yang ia buat.
Seperti apa sih awal tekadnya untuk berkecimpung di dunia spesialisasi yang masih minim peminat ini? Yuk simak wawancara MinHer bareng Ners Riska!
SfH : Kak, boleh diceritain gak awal mula berdirinya @pedulijiwa.id?
Awal terbentuk saat pandemi COVID-19 di tahun 2020. Karena saya ingat dengan janji saat lulus beasiswa S2 LPDP, bahwa saya ingin mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa. Tapi takdir berkata lain, saya bekerja di dunia pendidikan.
Tapi, bukan berarti di dunia pendidikan tidak bisa memberi pelayanan kepada masyarakat. Jadi saat itu, muncul ide untuk membuat platform online dan saya beri nama @pedulijiwa.id.
Alhamdulillah banyak yang tertarik dan follow, akhirnya saya dan tim konsisten membuat konten terkait edukasi kesehatan jiwa. Karena seperti yang kita ketahui, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. “No Health Without Mental Health.”
SfH : Apa suka dan duka selama membangun @pedulijiwa.id, kak?
Sukanya, bisa membantu banyak orang yang punya masalah kesehatan jiwa.
Tapi dukanya sekarang lagi off, karena saya dan tim belum menemukan pola waktu yang pas. Karena masing-masing punya aktivitas utama.
(Instagram.com/rizkaamalya)
SfH : Selama menjalankan @pedulijiwa.id, apa saja tantangan dan dinamika yang dirasakan oleh Kak Riska?
Tantangannya adalah bagaimana membuat konten yang menarik terutama dalam hal desainnya karena sebelumnya tidak begitu paham tentang desain. Tapi ternyata setelah dipelajari dan dicoba, ternyata bisa.
Dinamika yang dirasakan antar tim saling memotivasi satu sama lain sehingga sama-sama punya visi dan misi yang sama untuk @pedulijiwa.id.
SfH : Harapan untuk @pedulijiwa.id?
Semoga bisa aktif kembali dan semakin banyak yang dapat merasakan manfaatnya.
SfH : Bisa cerita tantangan Spesialisasi Keperawatan Jiwa yang kakak rasakan?
Stigma masyarakat terkait pasien gangguan jiwa masih tinggi. Jadi masih butuh edukasi yang lebih masif.
Agar masyarakat paham bahwa ODGJ itu juga manusia. Dan seharusnya juga dapat diperlakukan sama dengan orang yang tidak sakit.
SfH : Di Indonesia, topik tentang kesehatan jiwa baru menjadi bahasan luas pada awal 2010-an. Menurut Kak Riska, apa saja bentuk literasi yang harus dibangun agar masyarakat kian melek dengan masalah kejiwaan?
Literasi dasar yang bertujuan mengoptimalkan kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dengan sesama, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan jiwa.
Literasi media juga harus di bangun agar masyarakat bisa memilah informasi mana yang baik untuk kesehatan jiwa dan mana yang tidak baik untuk kesehatan jiwa.
Literasi teknologi (turut diperlukan, red.), di mana masyarakat perlu memahami bagaimana menggunakan teknologi dengan baik agar terhindar dari masalah kesehatan jiwa.
SfH : Apakah literasi kejiwaan juga idealnya harus diajarkan sejak bangku sekolah, kak?
Menurut saya iya. Kenapa? Di zaman sekarang dampak negatif sangat banyak sekali jika kita tidak bisa memilah informasi dengan baik yang tentunya juga akan berdampak kepada kesehatan jiwa.
Selain itu, area keperawatan jiwa bukan hanya pada pasien gangguan jiwa saja tetapi juga pada klien sehat, dan risiko. Untuk yang sehat diberikan promosi agar tidak berisiko memiliki masalah psikososial, untuk yang risiko diberikan pencegahan agar tidak mengalami gangguan jiwa, untuk pasien gangguan jiwa harapannya bisa pulih dengan obat.
(Instagram.com/rizkaamalya)
SfH : Menurut Kak Riska, apakah Spesialisasi Keperawatan Jiwa ini sudah mendapat minat cukup tinggi di Indonesia?
Kalau menurut saya belum. Kenapa? Karena belum banyak yang tahu bahwa ada spesialis keperawatan jiwa.
Nah, disinilah peran kita sebagai perawat dan media online agar bisa menyebarluaskan kepada banyak orang bahwa ada perawat jiwa. Dan mahasiswa serta perawat yang mau studi lanjut berminat ke keperawatan jiwa.
SfH : Cerita sedikit dong pengalaman ke Manchester, kak?
Waktu itu (Juli 2019) ada program dari The University of Manchester, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, dan Litbangkes Kemenkes RI.
Di sana kegiatannya berupa workshop seputar kesehatan jiwa, yaitu tentang pengembangan intervensi digital terkait kondisi depresi di Indonesia.
Peserta yang ikut dari Indonesia ada Peneliti Litbangkes, Dosen, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, Perawat Jiwa, Psikolog Klinis, NGO, dan pasien.
SfH : Poin-poin apa saja yang dibahas oleh para delegasi di Manchester saat itu?
Mulai dari intervensi kesehatan jiwa di UK (Britania Raya, red.), intervensi kesehatan jiwa di Indonesia, hasil-hasil penelitian tentang intervensi di UK dan Indonesia, serta pengembangan Intervensi digital untuk masalah depresi.
(Instagram.com/rizkaamalya)
SfH : Apa Kak Riska ada tips bagi mahasiswa yang mau ambil Spesialisasi Keperawatan Jiwa?
Kenali potensi diri, minatnya di mana. Jika memang minat di Keperawatan jiwa, mulai persiapkan diri, atur strategi, dan atur rencana kapan akan mulai sekolah.
Selain itu, persiapkan untuk seleksi dan biaya. Nah, untuk biaya, menurut saya sekarang banyak beasiswa yang bisa diikuti. Salah satunya LPDP.
SfH : Boleh bagi tipsnya kak untuk teman sejawat yang ingin mencari beasiswa LPDP?
Informasi seputar beasiswa LPDP ada di web LPDP (www.lpdp.kemenkeu.go.id). Hal yang perlu dipersiapkan penuhi semua syarat administrasi. Siapkan diri untuk tes selanjutnya jika lulus di tahap administrasi. Paling penting jadi dirimu, kenali kemampuan diri, minat dan bakat di bagian mana.
Yakin saja jika apa yang diperjuangkan dan diinginkan memang takdirmu, insyaallah akan berhasil. Jika belum coba lagi, jika gagal lagi pasti ada jalan terbaik yang sudah Allah siapkan.
SfH : Bagaimana membagi waktu antara karier dan peran seorang ibu?
Manajemen waktu, walaupun terkadang ada kalanya keteteran juga sih. Namanya manusia, tidak ada yang sempurna. Karena sejauh ini dalam pengasuhan anak, saya dan suami masih handle berdua.
Tapi saya selalu berusaha untuk bisa mengatur waktu dengan baik dan berkomitmen untuk memberi yang terbaik bagi keduanya. Baik itu keluarga dan pekerjaan yang merupakan tanggung jawab saya sebagai abdi negara serta pendidik.
Biasanya saya akan buatkan skala prioritas yang mana terlebih dahulu dikerjakan. Selain itu, prinsip yang saya anut adalah “Jalani, Nikmati, Syukuri.”
Seperti Kak Riska, kamu bisa ikut mengikis stigma negatif tentang pasien gangguan jiwa dengan menekuni Spesialisasi Keperawatan Jiwa.
Selalu ada jalan untuk hal-hal baik, guys!