Pencarian

Hubungan Kesehatan Mental-Fisik Perawat dengan Medicational Error

post-title

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, perawat jadi salah satu profesi dengan tingkat stres tinggi. Ini disebabkan oleh kompleksnya lingkungan klinis yang kompleks. Mulai dari tingkat keakutan pasien, pesatnya perkembangan teknologi kesehatan, suara alarm yang keras dan hingga suasana ruang operasi.

Kombinasi dari kelelahan mental, fisik dan emosional membuat perawat didera kondisi "burnout syndrome." Kondisi ini berbahaya, seperti yang dijelaskan dalam artikel ilmiah "Nurses' job stress and its impact on quality of life and caring behaviors: a cross-sectional study" yang terbit di jurnal BMC Nursing pada Maret 2022.

Selain itu, waktu istirahat yang tak cukup akibat shift panjang menambah tingkat stres, Muncul juga problem waktu tidur tak teratur, kelelahan serta sakit kepala. Dalam tingkat gawat, efek yang muncul adalah penyakit kardiovaskuler, masalah pencernaan, dan gangguan muskuloskeletal.

Tak cuma perawat yang kesehatannya berpotensi terganggu, pasien juga ikut terancam. Tingkat stres tinggi bisa berujung pada medicational error, seperti yang ditunjukkan dalam publikasi ilmiah berjudul "A National Study Links Nurses' Physical And Mental Health To Medical Errors And Perceived Worksite Wellness" yang diterbitkan Journal of Occupational and Environmental Medicine tahun 2018.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Melnyk Bernadette beserta 13 koleganya di Amerika Serikat, diketahui bahwa sebanyak 67% dari perawat dengan skor stres tinggi melakukan medicational error pada kurun waktu 5 tahun terakhir. Tentu ini menjadi bukti bahwa kesehatan mental-fisik perawat masih menjadi perkara yang besar di dunia kesehatan.

Masih dalam publikasi yang sama, perawat dengan kesehatan buruk memiliki potensi melakukan medicational error sebanyak 32%-62%, sehingga mengancam keselamatan pasien yang ditanganinya. Tapi, perawat dengan dukungan dari para teman sejawat, kolega dan atasan di tempat kerja disebut memiliki kesehatan fisik-mental lebih baik.

Tentu saja ini menjadi alarm. Terlebih pandemik COVID-19 kian mengakumulasikan tingkat stres perawat ke level yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Ini jelas dirasakan mereka yang berada di garda terdepan. Harus siaga nyaris 24 jam di dalam APD yang panas bukan main, jauh dari keluarga, rasa was-was jika ternyata terinfeksi, melihat para pasien harus bertaruh nyawa, serta virus SARS-CoV-2 yang menjadi momok lantaran masih asing bagi sains.

Di sisi lain, upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi medicational error sudah pernah dibahas oleh Iwan Dwiprahasto pada tahun 2004 melalui publikasi ilmiah "Medical Error Di Rumah Sakit Dan Upaya Untuk Meminimalkan Risiko" (Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan). Cara-caranya yakni :

- Pengukuran kinerja dan penerapan performance improvement system;

- Menetapkan strategi pencegahan berbasis pada fakta;

- Menetapkan standar kinerja (performance standards) untuk keamanan pasien.

Namun, perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus lebih dulu diprioritaskan mendapat kesejahteraan. Sebab merekalah yang selalu berinteraksi dengan pasien, serta harus mengambil tindakan yang cepat dan tepat ketika situasi mengharuskan. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengikis beban mental dan fisik perawat yakni dengan :

- Mengurangi waktu shift panjang yang memicu akumulasi stres;

- Mengatasi minimnya rasio personel dengan jumlah pasien yang harus ditangani;

- Lebih aware dan berkomitmen mengataasi masalah kesehatan mental-fisik;

- Menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif.

Sebab, keadaan mental-fisik perawat yang baik tentu akan berujung pada meningkatnya kualitas asuhan keperawatan, sebuah hal yang diberikan kepada pasien. Selain itu, perawat harus paham sejauh mana batasannya dan meningkatkan kepekaan dengan kondisi teman sejawat.

Twitter