Awal November 1854, sebuah kapal yang bertolak dari Inggris tiba di Pelabuhan Istanbul, setelah melakukan perjalanan laut selama dua pekan. Dari geladak kapal, Florence Nightingale berdiri menatap ibu kota Kesultanan Ottoman tersebut. Selama abad ke-19, Istanbul dikenal sebagai salah satu tempat plesiran bangsawan Eropa yang ingin merasakan suasana musim panas Laut Hitam.
Meski berstatus darah biru, Florence baru pertama kali menjejakkan kaki di Istanbul. Ia tiba bersama dua kepala perawat di tempatnya bekerja, St. Thomas' Hospital London, 38 perawat sukarela dan 12 biarawati.
Mereka dikirim setelah menerima laporan buruknya kondisi rumah sakit militer Inggris di Scutari, Istanbul. Tentara yang terluka berdesak-desakan dalam bangsal, minim pencahayaan, hingga sanitasi tak terurus. Tak heran, angka kematian tentara Inggris akibat luka yang dibawa dari medan perang mencapai lebih dari 90 persen.
Dua pekan berada di barak tentara, Florence sudah menyaksikan lebih dari 3.400 tentara Inggris datang dari medan perang dengan luka-luka berat. Ada ratusan yang harus diamputasi kaki dan/atau tangannya.
Florence memang berjarak 500 kilometer dari pertempuran, tapi ia tetap melihat horor Perang Krimea tetap datang ke hadapannya. Rumah sakit militer Inggris dengan personel yang tak sampai 900 orang tak sebanding dengan jumlah serdadu yang terus bertambah. Beban kerja Florence dan kawan-kawan berlipat ganda.
"Tiap jam 1 siang hingga jam 9 malam, kita harus merapikan ranjang pasien, mencarikan tentara tempat tidur kosong, membaringkan mereka, merawat dan memperban luka. Andai saja aku punya banyak waktu luang dan bisa membalas surat Anda," tulis Florence dalam surat bertanggal 15 November 1854 kepada atasannya di St. Thomas Hospital, William Bowman.
Namun, yang membuat hatinya terenyuh adalah para kondisi fasilitas perawatan tempatnya bekerja. Kondisi buruk bahkan membuat kolera menjadi ancaman lain untuk para tentara. Tak tinggal diam, Florence yang waktu itu masih berusia 34 tahun mengirim surat terbuka ke surat kabar The Times juga di bulan November 1854. Dalam surat mendesak pemerintah untuk membantu menciptakan solusi untuk masalah atas buruknya kondisi fasilitas kesehatan di Krimea.
Desakan tersebut sangat beralasan. Selama bulan November 1854 hingga Januari 1855, sebanyak 4.077 tentara meregang nyawa di Rumah Sakit Militer Inggris Scutari. Mayoritas meninggal karena penyakit seperti tifus, tipus, kolera, dan disentri alih-alih akibat luka pertempuran.
Jawaban dan solusi kemudian datang lewat Sanitary Commission yang dibentuk bangsawan Kingdom Brunel, Isambard, yang merancang sebuah rumah sakit bongkar-pasang yang dibuat di Inggris dan dikirim ke Turki pada Maret 1855.
Di fasilitas kesehatan baru yang dikenal sebagai Rumah Sakit Renkioi tersebut, ia menerapkan kebijakan pemisahan pasien berdasarkan luka yang diderita. Sirkulasi udara juga diperbaiki dengan cara membuat jarak antar kasur, dan protokol sanitasi ketat diberlakukan yakni semua perawat dan petugas kebersihan wajib cuci tangan sebelum serta sesudah menangani pasien.
Peneliti Stephen Paget dalam buku Dictionary of National Biography (1885) bahkan menulis bahwa Florence sukses memangkas tingkat kematian dari 42% menjadi hanya 2%. Tingkat kematian memang berkurang tajam, tetapi dalam surat-suratnya, Florence tidak pernah mengklaim keberhasilan tersebut sebagai miliknya. Ia tetap memberi apresiasi pada seluruh personel perawat, petugas kebersihan dan biarawati yang membantunya.
Meski persentase kematian tentara berkurang drastis, ia tetap meneruskan kebiasaan berjalan sendirian di bangsal saat larut malam untuk melihat langsung kondisi para pasien. Kurang istirahat membuatnya terserang penyakit berat pada Mei 1855, nyaris merenggut nyawa Florence.
Pengorbanan Florence membuatnya dijuluki "The Lady with the Lamp" dari seorang jurnalis The Times yang meliput langsung Perang Krimea dan mengunjungi Rumah Sakit Renkioi.
“Dia adalah 'malaikat yang melayani' tanpa berlebihan di rumah sakit ini, dan saat tubuhnya yang ramping meluncur dengan tenang di setiap koridor, wajah setiap orang yang malang seketika melembut dengan rasa syukur saat melihatnya. Ketika semua petugas medis telah beristirahat malam yang hening dan gelap di rumah sakit, Florence bisa dilihat sendirian, dengan lampu kecil di tangannya, berkeliling sendirian,” demikian tulisan tersebut.
Pengalaman di medan Perang Krimea membuka mata Florence. Maka saat kembali ke Inggris pada 1856, Florence bertekad membuat perubahan di bidang keperawatan. Dari sekadar membersihkan dan merawat pasien, hingga berperan penting dalam kesembuhan pasien. Ia kemudian menjadi pelopor revolusi profesi yang jadi garda terdepan kesehatan tersebut.
Pada 1974, berjarak 64 tahun setelah Florence Nightingale wafat pada 13 Agustus 1910, lembaga International Council of Nurses (ICN) menetapkan 12 Mei (hari lahir Florence) sebagai Hari Perawat Internasional. Ini sebagai bentuk perayaan atas peran penting Florence mengubah citra profesi perawat jadi seperti yang kita kenal sekarang.