Sama seperti di Indonesia, banyak organisasi perawat di Amerika Serikat. Mulai dari bersifat umum seperti American Nurses Association (AMA), yang berdokus pada mahasiswa perawat yakni National Student Nurses' Association (ASNA), Oncology Nursing Society (ONS) yang berfokus pada penyakit kanker, serta berbasis rasa seperti National Association of Hispanic Nurses (NAHN) atau National Black Nurses Association (NBNA).
Namun, ada satu organisasi perawat AS yang unik, yakni American Cannabis Nurses Association (ACNA). Mereka termasuk aktif dalam isu terkait menggunaan ganja dalam perawatan pasien yang sudah memenuhi syarat.
Mereka bisa terbentuk sebab ada 37 dari 50 negara bagian di Negeri Paman Sam yang melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. Sebanyak 27 di antaranya melegalkan untuk penggunaan rekreasional.
ACNA didirikan pada tahun 2006 di Santa Barbara, negara bagian California, oleh Ed Julia Glick. Inisiatif tersebut muncul selepas ia mengikuti konferensi nasional tentang penggunaan ganja di bidang klinis. "Sebab kalau bukan saya, siapa lagi?" demikian kata Julia Glick seperti dilansir oleh situs resmi ACNA.
Saat itu, negara bagian California baru tiga tahun mengizinkan penggunaan ganja di ranah medis berkat California Senate Bill 420, atau biasa disebut sebagai Medical Marijuana Program Act.
Tujuan Pembentukan ACNA
Dikutip dari situis resminya, tujuan ACNA dibentuk yakni untuk mengampanyekan bidang terapi endocannabinoid. Ditemukan pada dekade 1990-an, sistem endocannabinoid (ECS) adalah senyawa yang diproduksi secara alami pada suatu organisme yang mirip dengan senyawa pada ganja.
Senyawa ECS juga ternyata ditemukan pada setiap makhluk hidup baik vertebrata atau invertebrata, termasuk manusia, kecuali serangga. ECS sendiri bersifat homeostatis dan berfungsi untuk menstabilkan fungsi-fungsi organ, sel, dan jaringan tubuh makhluk hidup.
Kembali ke tujuan awal, ACNA juga punya tiga tujuan lainnya yakni :
- Mendorong perawat profesional memakai ganja dalam merawat pasien,
- Memberi kesempatan membuat penelitian ilmiah tentang kanabis, serta
- Membantu perawat memahami dan mengadvokasi kebutuhan pasien mereka.
Tanggung Jawab Para Anggota ACNA
Ganja memang lekat dengan stereotip negatif, dan ini juga diakui oleh ACNA meskipun mereka bergerak dalam bidang klinis, terutama dalam perawatan paliatif. Karena itu, ACNA juga mensyaratkan beberapa hal kepada anggotanya.
Seluruh member ACNA wajib tahu seperti apa proses ganja memengaruhi tubuh, dan mana bagian dari tanaman Cannabis sativa yang bisa digunakan untuk keperluan terapeutik.
Lebih jauh, mereka bisa merawat pasien dengan kondisi medis berat seperti :
- Kanker
- Penyakit Parkinson
- Sklerosis ganda
- Epilepsi
- Sindrom iritasi usus
Memang sejauh ini belum ada sertifikasi dari otoritas kesehatan AS --pemerintah federal atau pusat pun belum melegalisasi penggunaannya untuk tujuan apapun-- atau spesialisasi perawat yang fokus dalam perawatan medis dengan ganja. Tapi, ACNA sudah menerbitkan panduan untuk seluruh anggotanya beberapa tahun silam.
Berdasarkan pedoman tersebut, ada beberapa tanggung jawab yang diemban anggota ACNA yakni :
- Menjaga pasien tetap aman;
- Mengetahui efek buruk penggunaan ganja;
- Tetap mengikuti undang-undang negara bagian tentang penggunaan ganja medis dan rekreasi;
- Waspada risiko ganja untuk pasien dari kelompok umur atau kondisi medis tertentu.
Bagaimana Isu Ganja Medis di Indonesia?
Beberapa pihak dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sudah berulang kali menyuarakan legalisasi ganja untuk keperluan medis sejak dekade 2010-an. Tapi usaha tersebut tak kunjung membuahkan hasil.
Topik tersebut sempat kembali mencuat setelah aksi Santi Wirastuti, seorang ibu yang putrinya mengidap cerebral palsy, di Bundaran HI Jakarta viral pada Juni 2022. Tak lama setelah itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkaji kemungkinan menerbitkan fatwa penggunaan ganja untuk keperluan pengobatan atau medis.
Namun, bahasan tersebut masih sarat dengan suara kontra. Pihak Kemenkes masih belum melakukan penelitian ilmiah nan mendalam terkait penggunaan ganja di bidang medis. Penolakan juga datang dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Indonesia masih melabeli mariyuana sebagai narkotika golongan I, atau memiliki daya adiktif yang tinggi.