Belakangan, penyakit Marburg kembali mewabah di Guinea Ekuatorial sejak Februari 2023. Badan Kesehatan Dunia WHO sejauh ini sudah melaporkan 9 kematian dan 16 kasus suspek di Provinsi Kie-Ntem yang berbatasan langsung dengan Kamerun. Dari 8 sampel yang diperiksa, 1 sampel dinyatakan positif virus Marburg.
Memang hingga sekarang penyakit Marburg belum dilaporkan sudah ada di Indonesia. Tapi, pemerintah tetap meminta masyarakat untuk waspada.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan penilaian risiko cepat (rapid risk assessment) penyakit virus Marburg pada 20 Februari 2023. Hasilnya, didapatkan bahwa kemungkinan adanya importasi (masuknya) kasus virus Marburg di Indonesia termasuk rendah.
Meski begitu, Juru Bicara Kemenkes yakni dr. Mohammad Syahril mengingatkan pemerintah dan masyarakat jangan sampai lengah terhadap virus tersebut.
"Kita perlu tetap melakukan kewaspadaan dini dan antisipasi terhadap penyakit virus Marburg," ujarnya seperti dilansir oleh laman resmi Kemenkes pada Selasa lalu (28/3/2023).
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit Virus Marburg. Surat tersebut berisi instruksi kepada pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, SDM kesehatan, dan para pemangku kepentingan terkait untuk waspada terhadap virus Marburg.
Virus Marburg (Filovirus) merupakan salah satu virus paling mematikan dengan fatalitas mencapai 88%. Penyakit virus Marburg merupakan penyakit demam berdarah yang jarang terjadi.
Penyakitnya mulai dipelajari pada 1967, saat virus tersebut menyebar di sejumlah kota di Jerman Barat dan Yugoslavia. Ini terjasdi saat pekerja laboratorium terpapar jaringan monyet grivet yang terinfeksi (monyet hijau Afrika, Chlorocebus aethiops) di kawasan industri Behringwerke. Selama wabah tersebut, tiga puluh satu orang terinfeksi dan tujuh diantaranya meninggal.
Virus ini satu famili dengan virus ebola. Penularan kepada manusia terjadi melalui kontak langsung dengan orang ataupun hewan yang terinfeksi, atau melalui benda yang terkontaminasi oleh virus Marburg.
Marburg menular lewat cairan tubuh langsung dari kelelawar/primata. Kelelawar host alami virus Marburg yakni Rousettus aegyptiacus bukan spesies asli Indonesia dan belum ditemukan di Indonesia. Meski begitu, Indonesia masuk jalur mobilisasi kelelawar ini.
Gejalanya mirip dengan penyakit lain seperti malaria, tifus, dan demam berdarah yang banyak ditemukan di Indonesia. Hal ini, menurut dr. Syahril, menyebabkan penyakit virus Marburg sulit diidentifikasi.
Gejala tersebut berupa demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, mual muntah, diare, dan perdarahan. Penyakit ini juga dapat menyebabkan perdarahan pada hidung, gusi, vagina atau melalui muntah dan feses yang muncul pada hari ke-5 sampai hari ke-7.
Belum ada vaksin yang tersedia untuk menangkal virus Marburg dan masih dalam tahap pengembangan. Saat ini ada 2 vaksin yang memasuki uji klinis fase 1 yakni vaksin strain Sabin dan vaksin Janssen.
"Belum ada obat khusus, pengobatan bersifat simtomatik dan suportif, yaitu mengobati komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit," jelas dr. Syahril.