Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, CDC, saat ini sedang disibukkan dengan varian COVID-19 terbaru yakni varian EU.1.1. Varian tersebut menyumbang sekitar 1,7% dari kasus COVID-19 di Negeri Paman Sam dan sejumlah negara Eropa. Varian EU.1.1 sendiri merupakan "keturunan" XBB alias Omicron yang terkait dengan varian XBB.1.5. alias Kraken.
Lantas apakah EU.1.1 menjadi varian yang harus dikhawatirkan? Dilansir oleh laman MedPage Today pada 27 Juni 2023 lalu, Kelly Oakeson, Ph.D., kepala peneliti dari Departemen Kesehatan & Layanan Kemanusiaan Utah AS menjelaskan bahwa tampaknya varian EU.1.1 tidak memiliki pengaruh signifikan dalam hal penularan atau keparahan pasien yang terinfeksi. Negara bagian Utah sendiri jadi wilayah di Amerika Serikat dengan kasus EU.1.1. terbanyak.
Oakeson juga menyatakan bahwa pihaknya belum menemukan ada peningkatan rawat inap atau gejala yang lebih parah terkait dengan varian ini. Meski berstatus "cicit" XBB yang mengalami lebih banyak mutasi pada protein lonjakan, ia menyebut tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa varian ini lebih parah atau lebih berbahaya daripada turunan XBB lainnya.
Meski terdengar melegakan, varian EU.1.1. tetap perlu tindakan pencegahan yang tepat. Peneliti dari New York Institute of Technology, Rajendram Rajnarayanan, Ph.D., mengungkapkan bahwa varian EU.1.1 tampaknya punya tingkat penularan yang lebih tinggi ketimbang "induknya" yaitu XBB.1.5. Meski begitu, tidak ada hal yang membuat varian tersebut lebih berbahaya.
Senada dengan Rajnarayanan, Marc Johnson, Ph.D., dari of Missouri School of Medicine di Columbia, menyebut EU.1.1. tidak memiliki ancaman yang signifikan. Perbedaanya hanya terletak pada dua perubahan susunan genetik asam amino dari XBB.1.5.
Bagaimana dengan Situasi di Indonesia?
Sejauh ini, Kementerian Kesehatan belum menemukan subvarian EU.1.1. di Indonesia. Berbicara pada Detikcom, Minggu (2/7/2023), Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes yakni dr. Siti Nadia Tarmizi juga mengungkapkan Indonesia tak lagi menetapkan status kedaruratan COVID-19 secara nasional bahkan jika EU.1.1. memicu peningkatan kasus yang signifikan.
Ia beralasan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah memiliki sistem kekebalan yang cukup. Kemenkes sendiri menyebut bahwa 99 persen masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi terhadap COVID-19.