Massa lima organisasi profesi kesehatan kembali melakukan aksi demonstrasi pada Senin kemarin (5/6/2023) di depan Gedung DPR-RI Senayan Jakarta. Mereka masih menyuarakan agar pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law segera dihentikan.
Aksi tersebut melibatkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), serta banyak forum tenaga kesehatan dan masyarakat kesehatan.
Alasan mereka masih sama, yakni lantaran kelima organisasi profesi sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law. Tak cuma dilibatkan, mereka pun curiga lantaran ada kesan bahwa RUU tersebut dikebut untuk segera disahkan. Lebih jauh, jika permintaan mereka tak digubris, para tenaga kesehatan (nakes) di seluruh Indonesia berencana melakukan mogok kerja nasional.
Rencana mogok kerja tersebut menjadi sorotan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Berbicara kepada Detikcom, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes yakni dr. Siti Nadia Tarmizi mengaku khawatir bahwa jika terjadi, aksi mogok tersebut akan mengancam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pihaknya selalu mengimbau kepada para nakes agar selalu mengdepankan pelayanan kepada pasien ketimbang kepentingan organisasi apalagi perorangan.
"Aksi demo organisasi profesi cenderung tidak ada kepentingan publik dan pelayanan yang diberikan terhadap pasien," ungkapnya kepada Detikcom.
Sementara itu, dilansir oleh kantor berita Antara, Nadia mengemukakan bahwa 85 persen kebijakan yang tertuang dalam RUU Kesehatan hanya berkaitan langsung dengan perbaikan pelayan kesehatan.
Sedangkan, 15 persen sisanya dari isi RUU Kesehatan disebut jadi bahan protes dan polemik oleh kelima organisasi profesi. "Seolah-olah RUU ini isinya hanya tentang wewenang organisasi profesi dan bukan tentang kepentingan masyarakat luas," tutur Nadia.
Nadia mengatakan isu yang diangkat dalam rangkaian aksi penolakan RUU Kesehatan mengatur terkait sumber daya tenaga kesehatan yang di dalamnya ada pengaturan, antara lain tentang wewenang penerbitan izin untuk praktik, pendidikan dokter spesialis, perlindungan hukum untuk tenaga kesehatan, dan eksistensi organisasi profesi.
Sementara itu, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yakni Noffendri Roestam menyoroti tentang rencana penerapan multi-organisasi profesi medis di Indonesia. Ini berisiko menimbulkan standar ganda dalam penegakan etika profesi yang dapat merugikan pasien.
"Padahal ada juga profesi lain dalam undang-undang juga disebutkan organisasi tunggalnya, misalnya notaris, akuntan, arsitek, psikolog. Hal yang sama seharusnya berlaku juga untuk profesi medis dan tenaga kesehatan karena menyangkut standar untuk keselamatan dan nyawa manusia," tutur Noffendri.
Perihal perkara organisasi, Nadia menegaskan pemerintah mengusulkan agar RUU Kesehatan tidak campur tangan dalam pembentukan organisasi profesi. Ia merujuk pada UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Oleh karena itu pembentukan organisasi profesi sebagai lembaga masyarakat nonpemerintah dikembalikan kepada profesi masing-masing dan memiliki peran membantu pemerintah dalam melakukan pembinaan keprofesian," tegas Nadia.