Capaian terbaru kembali dicatatkan oleh industri farmasi nasional. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan izin edar produk antibodi monoklonal pertama produksi industri farmasi dalam negeri pada tanggal 28 Desember 2022.
Obat tersebut bernama Rituxikal yang dibuat oleh PT Kalbio Global Medika, dan merupakan Produk Biosimilar, yang artinya produk obat biologis yang dibuat mirip dengan obat aslinya setelah masa paten berakhir. Rituxikal sendiri memiliki karakteristik yang similar serupa dengan rituximab inovator dengan nama dagang Mabthera.
"BPOM memberikan izin edar Rituxikal berdasarkan pada hasil uji komparabilitas mutu, uji komparabilitas non-klinik, dan uji komparabilitas klinik Rituxikal yang dibandingkan dengan obat inovator Rituximab, yaitu Mabthera," jelas Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito dalam konferensi pers yang berlangsung pada Senin kemarin (30/01/2023).
"Hasilnya diketahui bahwa Rituxikal menunjukkan kesebandingan dengan Mabthera yang diproduksi Roche Diagnostics Gmbh, Germany," imbuh Penny di hadapan para awak media yang hadir.
Rituxikal sendiri mengandung zat aktif Rituximab yang digunakan untuk indikasi keganasan (kanker) pada Limfoma Non-Hodgkin (NHL) dan Leukemia Limfositik Kronik. Rituxikal sudah tersedia dalam bentuk larutan konsentrat yang diberikan secara intravena.
Rituxikal awalnya terdaftar tanggal 5 Agustus 2019 atas nama PT Kalbe Farma sebagai obat impor produksi Sinergium Biotech S.A., Argentina yang dirilis oleh mAbxience S.A.U, Argentina.
Kemudian, PT Kalbio Global Medika, yang merupakan industri farmasi grup Kalbe Farma, menerima transfer teknologi dari Sinergium Biotech S.A., Argentina dan mAbxience S.A.U, Argentina. Ini jadi langkah agar dapat membuat produk Rituxikal di Indonesia.
Rituximab adalah produk antibodi monoklonal yang mengikat antigen transmembran CD20 pada limfosit sel B yang dihasilkan oleh sel kanker secara spesifik, sehingga menimbulkan reaksi imunologi yang memicu sel kanker lisis (pecah).
Dengan disetujuinya izin edar Rituxikal, ini menjadi alternatif tambahan bagi para pasien kanker Limfoma Non-Hodgkin (NHL) dan Leukemia Limfositik Kronik. Di samping itu, juga menambah daftar produk biologi yang dapat diproduksi lokal di Indonesia setelah vaksin, Epoetin Alfa, Enoxaparin, dan Insulin.
Rituxikal sendiri akan segera didistribusikan ke rumah sakit milik pemerintah dan swasta. Penny pun menyebut bahwa obat ini diproyeksikan masuk dalam pembiayaan untuk BPJS Kesehatan agar bisa digunakan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
"Pemerintah selalu mendorong untuk menggunakan obat-obatan dalam negeri sehingga TKDN-nya (Tingkat Komponen Dalam Negeri, red.) dan pembelian produk-produk obat di katalog diprioritaskan. (Obat Rituxikal) pasti masuk e-katalog, termasuk ke BPJS," papar Penny.
Apa Itu Kanker Limfoma?
Kanker Limfoma, atau biasa disebut Kanker Kelenjar Getah Bening (KGB), terjadi karena perubahan menuju keganasan dan perbanyakan diri secara tidak terkendali oleh sel darah putih di kelenjar getah bening atau organ pembentuk sel darah putih lainnya. Kanker ini terbagi menjadi dua jenis yakni Limfoma Non Hodgkin (LNH) dan Limfoma Hodgkin (LH).
Kanker Limfioma sendiri menyerang sistem limfatik. Sistem limfatik adalah sistem jaringan dan organ yang berfungsi membantu tubuh mengeluarkan racun, limbah, dan material lain yang tak diperlukan/diinginkan. Sistem limfatik mencakup kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, serta kelenjar timus.
Bagaimana dengan kondisinya Indonesia? Dilansir oleh Gneagles, Limfoma Hodgkin memiliki proporsi kurang dari 7% dari total kasus kanker limfoma di negeri ini. Data tahun 2020 menyebut ada lebih dari 1.100 kasus limfoma Hodgkin baru di Indonesia.
Sedangkan Limfoma Non-Hodgkin jadi yang paling umum dan relatif lebih berbahaya daripada Limfoma Hodgkin. Kasusnya duduk di posisi 7 kanker yang paling sering ditemui, dan mencatatkan lebih dari 16.000 kasus baru pada tahun 2020.