Pencarian

Paparan Rokok Ternyata Membuat Anak-Anak Terkena Stunting

post-title

Rokok tak hanya menjadi bumerang bagi konsumennya, tapi juga memberi dampak pada orang-orang di sekitar perokok aktif. Salah satunya adalah anak-anak.

Dilansir oleh situs resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Rabu kemarin (7/6/2023)M Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes yakni dr. Endang Sumiwi menyampaikan bahwa merokok memiliki dampak buruk pada kesehatan seseorang, terutama pada anak-anak yang berpotensi mengalami stunting (kekerdilan).

Ia mendasarkan ini dari temuan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia pada 2018. Data tersebut menunjukkan bahwa balita yang tinggal dengan orang tua perokok memiliki pertumbuhan yang kurang sekitar 1,5 kg dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok. Selain itu, risiko stunting pada balita yang tinggal dengan orang tua perokok juga lebih tinggi sebesar 5,5%.

"Kita tahu bahwa angka stunting kita masih tergolong tinggi menurut kategori WHO yaitu di atas 20%, sementara Indonesia masih 21%. Kalau balita berpotensi terpapar rokok di rumahnya maka ini menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting," ujar Endang.

Dirjen Endang berharap bahwa keluarga-keluarga Indonesia dapat mengalihkan belanja mereka dan memprioritaskan pengeluaran untuk hal-hal primer ketimbang rokok yang termasuk kebutuhan tersier.

Menurut data Global Adult Tobacco Survey, sebuah keluarga di Indonesia bisa menghabiskan rata-rata hingga Rp382.000 per bulan untuk pembelian rokok. Padahal, Kemenkes menyebut bahwa jumlah tersebut dapat dialihkan untuk membeli sumber protein hewani yang sangat penting bagi pertumbuhan anak-anak agar terhindar dari stunting.

Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yakni dr. Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan bahwa konsumsi rokok memiliki dampak negatif terhadap sosial ekonomi dan kesehatan.

Ia mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, yang menunjukkan bahwa pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih besar ketimbang pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.

Belanja rokok menjadi belanja terbesar kedua dalam keluarga dengan persentase pengeluaran sebesar 11,9%. Sedangkan pengeluaran untuk makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam malah jauh lebih rendah.

"Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga dan tiga kali lebih tinggi daripada beli telur," ucap Dirjen Maxi.

Dr. Feni Fitriani Taufik, perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, menjelaskan bahwa pihaknya pernah melakukan penelitian terhadap bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok, ibu yang menjadi perokok pasif, dan ibu yang merokok aktif.

Hasilnya menunjukkan bahwa plasenta bayi yang terpapar oleh ibu yang merokok aktif dan pasif mengandung nikotin. Bayi-bayi tersebut memiliki panjang badan dan berat badan yang lebih kecil ketimbang dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.

Terlebih lagi, ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke mengacu pada asap rokok yang dilepaskan oleh perokok dan dihirup oleh orang-orang di sekitarnya.

Sedangkan thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok yang menempel pada benda-benda di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa. Bahan kimia berbahaya ini dapat berdampak negatif terutama di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa.

"Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak Balita," jelas dr. Feni.

"Kalau berbicara stunting, secondhand smoke dan thirdhand smoke menyebabkan beban ekonomi keluarga akan berlipat. Sebab perkembangan anak terganggu," imbuhnya.

Twitter