Obat adalah komponen penting dalam pengobatan modern dan terapi penyakit, tetapi terdapat banyak efek samping obat yang tidak diinginkan yang mungkin muncul. Oleh karena itu, sebagai perawat, sangat penting untuk memberi edukasi kepada pasien mengenai efek samping obat yang mungkin terjadi, bagaimana cara mengantisipasinya, dan apa yang harus dilakukan jika pasien mengalami efek samping tersebut.
Beberapa efek samping obat mungkin sudah umum diketahui, tetapi ada juga efek samping yang kurang dikenal sehingga sama pentingnya untuk diketahui.
Reaksi Antibiotik yang Merugikan
Antibiotik merupakan hal yang sangat penting dalam mengobati penyakit bakteri, tetapi obat-obatan ini juga memiliki efek samping yang perlu diwaspadai. Ada berbagai jenis kelas antibiotik yang memiliki karakteristik dan reaksi obat yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, beberapa efek samping obat hanya berlaku untuk jenis antibiotik tertentu, sedangkan beberapa efek samping lainnya berlaku untuk seluruh jenis antibiotik.
1. Antibiotik dan Diare
Semua jenis antibiotik dapat memengaruhi keseimbangan bakteri yang ada di dalam usus dan dapat memicu diare. Tapi ada beberapa jenis antibiotik yang berpotensi lebih besar menyebabkan diare seperti amoksisilin, sefalosporin, dan klindamisin. Ketika antibiotik dicampur dengan asam klavulanat, diare jadi lebih sering terjadi seperti reaksi obat Augmentin.
Saat mengonsumsi antibiotik, obat ini tidak hanya membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi, tetapi juga membunuh bakteri sehat yang membantu mencerna makanan di usus. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan bakteri dalam usus dan menghasilkan kondisi yang dikenal sebagai disbiosis. Disbiosis dapat mengakibatkan diare, mulai dari yang ringan hingga yang berat.
Selain itu, infeksi diare yang disebabkan oleh bakteri Clostridium difficile (CDIFF) dapat terjadi secara oportunistik dan sulit diobati. Penggunaan antibiotik meningkatkan risiko terkena CDIFF, terutama antibiotik spektrum luas seperti sefalosporin, fluoroquinolones, dan klindamisin.
2. Reaksi Alergi
Semua jenis obat dan antibiotik dapat memicu reaksi alergi pada beberapa orang. Hal ini terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengenali antibiotik sebagai zat asing dan merespon dengan memproduksi antibodi yang mengakibatkan gejala alergi. Reaksi alergi antibiotik dapat terjadi pada semua jenis antibiotik, tetapi beberapa jenis antibiotik lebih sering terkait dengan reaksi alergi seperti penisilin, sefalosporin, dan sulfonamid.
Reaksi alergi dapat menimbulkan rasa gatal-gatal pada kulit serta potensi pembengkakan pada wajah, mata, bibir, atau mulut. Bisa juga reaksi yang lebih serius seperti sesak napas dan syok anafilaksis.
Reaksi alergi juga bisa memicu pembengkakan pada saluran udara yang dapat menyebabkan bunyi mengi dan stridor. Oleh karena itu, pasien yang diberikan obat harus selalu diberikan edukasi tentang gejala-gejala potensial dari reaksi alergi.
3. Rifampisin dan Alat Kontrasepsi
Ada mitos yang menyatakan bahwa antibiotik dapat berinteraksi dengan alat kontrasepsi, tapi klaim ini tidak didukung oleh bukti yang meyakinkan. Hanya satu jenis antibiotik, yaitu Rifampisin, yang diketahui dapat merugikan efektivitas alat kontrasepsi.
Rifampisin bukanlah antibiotik yang biasa digunakan, tetapi digunakan sebagai pengobatan untuk tuberkulosis. Meskipun ada kekhawatiran bahwa antibiotik dapat memengaruhi mikrobioma usus dan mengubah kadar estrogen, tapi hal ini belum terbukti dan kemungkinan besar tidak benar.
Pasien yang menggunakan rifampisin harus diberi edukasi untuk menggunakan perlindungan tambahan selama setidaknya 1 bulan setelah selesai menggunakan rifampisin.
4. Doksisiklin dan Gangguan Gastrointestinal
Penyakit yang ditularkan melalui kutu, selulitis, pneumonia, penyakit menular seksual (STD), dan banyak lagi adalah beberapa jenis infeksi yang umumnya diobati dengan doksisiklin. Walaupun doksisiklin sangat efektif, tapi obat ini memiliki beberapa efek samping yang signifikan yang harus dijelaskan pada pasien.
Efek sampingnya yakni mual, muntah, diare, sakit perut, dan peradangan usus. Gangguan gastrointestinal terjadi karena doksisiklin mengganggu keseimbangan bakteri normal di usus, yang dapat menyebabkan diare dan peradangan.
Selain itu, doksisiklin juga dapat menyebabkan reaksi alergi dan sensitivitas terhadap sinar matahari. Beberapa orang juga dapat mengalami sakit kepala, pusing, dan kulit yang lebih sensitif terhadap infeksi jamur atau bakteri.
Doksisiklin (dan klindamisin) dapat menyebabkan esofagitis akibat obat, yaitu peradangan dan rasa sakit di kerongkongan. Untuk mencegahnya, pasien harus diberi tahu untuk minum doksisiklin dengan segelas air, susu, atau makanan dan tetap berdiri tegak selama 30 menit setelah meminumnya. Ini bisa membantu mengurangi efek sampingnya, meski memengaruhi penyerapan obat.
5. Flagyl dan Alkohol
Metronidazol, atau yang lebih dikenal dengan nama dagang Flagyl, biasanya diresepkan untuk mengatasi infeksi usus seperti kolitis atau divertikulitis, dan infeksi pada area vagina seperti trikomoniasis.
Flagyl biasanya dilarang untuk diminum bersamaan dengan alkohol karena dapat menyebabkan "reaksi seperti disulfiram" (disulfiram-like effect). Hal ini dapat menyebabkan reaksi seperti sakit kepala, mual, muntah, detak jantung yang cepat, berkeringat, kulit memerah, dan kesulitan bernapas. Ini akibat Flagyl menghambat pemecahan alkohol di dalam tubuh, sehingga alkohol bertahan lebih lama dan menciptakan efek yang lebih kuat.
Tidak ada bukti yang cukup tentang reaksi yang parah ketika Flagyl dan alkohol dicampur, tapi kadang-kadang hal ini terjadi. Pasien harus diberikan informasi tentang kemungkinan reaksi ini, dan diimbau menghindari konsumsi alkohol selama 24 jam setelah mengonsumsi dosis terakhir.
6. Floroquinolones dan Ruptur Tendon
Fluoroquinolones adalah jenis antibiotik yang sangat kuat dan dapat membunuh berbagai jenis bakteri. Antibiotik ini biasanya digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih, infeksi perut, dan pneumonia.
Namun, saat ini, fluoroquinolones tidak lagi digunakan secara luas karena memiliki banyak efek samping yang berpotensi terjadi, meskipun jarang terjadi.
Beberapa efek samping tersebut meliputi :
- Kadar gula darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
- Neuropati perifer, yaitu kerusakan saraf pada tangan dan kaki.
- Efek pada sistem saraf pusat (seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial, tremor).
- Reaksi psikologis (seperti psikosis, halusinasi, delirium, dll).
- Aneurisma dan diseksi aorta (robeknya lapisan dalam aorta).
- Tendonitis dan ruptur tendon.
Meskipun kadang-kadang masih diperlukan, pasien harus diedukasi tentang kemungkinan efek samping ini. Efek samping tendinopati dapat terjadi berjam-jam atau bahkan berhari-hari setelah memulai pengobatan dengan antibiotik, atau terkadang terjadi setelah berbulan-bulan.
Efek samping ini lebih mungkin terjadi pada pasien yang berusia di atas 60 tahun, yang menggunakan steroid, sedang mengalami diabetes atau gagal ginjal, atau dengan terapi yang diperpanjang.
Reaksi Obat Non-Antibiotik yang Merugikan
Tidak hanya antibiotik yang dapat menyebabkan reaksi obat yang merugikan, setiap obat memiliki kemungkinan efek samping.
Meskipun efek samping dapat terjadi pada setiap pengobatan, ada beberapa efek samping yang umum atau menarik yang perlu diketahui dan disampaikan pada pasien sebagai bentuk edukasi.
7. Dexamethasone dan Area Perineum
Dexamethasone adalah jenis steroid yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi, termasuk sakit tenggorokan, edema serebral, migrain, dan beberapa kondisi medis lainnya di dalam atau di luar rumah sakit. Dexamethasone sering diberikan melalui suntikan intravena di unit gawat darurat atau rumah sakit.
Salah satu efek samping yang perlu diingatkan pada pasien adalah ketidaknyamanan pada area perineum saat obat ini diberikan melalui IV dengan cepat. Efek samping ini dapat menyebabkan sensasi terbakar atau kesemutan pada perineum, yang meskipun singkat, dapat menimbulkan ketidaknyamanan yang signifikan bagi pasien.
Oleh karena itu, disarankan untuk mengencerkan dexamethasone dalam larutan saline normal dan memberikan infus selama 15-30 menit untuk mengurangi kemungkinan efek samping ini terjadi.
8. Opioid
Opioid seperti Oxycodone atau Hydrocodone biasanya digunakan untuk meredakan nyeri dan dapat sangat membantu bagi pasien kami. Tapi, opioid juga memiliki efek samping yang signifikan yang harus dijelaskan kepada pasien.
Opioid dapat menyebabkan depresi pernapasan dan ini dapat menjadi fatal dalam overdosis. Tapi, dengan dosis yang tepat, depresi pernapasan yang signifikan seharusnya tidak terjadi kecuali jika dicampur dengan obat lain atau alkohol.
Selain itu, opioid juga dapat menyebabkan kantuk dan bahkan pingsan, sehingga pasien harus menghindari melakukan aktivitas yang butuh kewaspadaan mental tinggi seperti mengemudi kendaraan atau mengoperasikan alat berat.
9. Antikoagulan dan Pendarahan
Antikoagulan adalah obat yang biasanya diperlukan untuk mencegah penggumpalan darah pada orang yang memiliki riwayat DVT, PE, atau Fibrilasi Atrium. Tapi, obat ini dapat menghambat kemampuan alami tubuh untuk membeku darah saat terluka.
Oleh karena itu, antikoagulan dapat menyebabkan risiko pembekuan yang tidak efektif dan meningkatkan risiko perdarahan. Reaksi pendarahan dapat terjadi sebagai akibat dari antikoagulan yang berlebihan, dan dapat terjadi pada berbagai bagian tubuh, termasuk otak, perut, ginjal, dan kulit. Pendarahan internal dapat terjadi tanpa gejala yang jelas pada awalnya, tetapi dapat menjadi kondisi medis yang mengancam jiwa jika tidak diobati dengan cepat.
Gejala pendarahan yang mungkin terjadi pada pengguna antikoagulan meliputi perdarahan dari gusi, hidung, atau mulut, memar yang tidak biasa atau berat, urine berdarah, feses berdarah, muntah darah, atau perdarahan dari vagina yang tidak terkait dengan menstruasi.
Pasien yang sedang dalam pengobatan dengan pengencer darah harus mengambil tindakan pencegahan tambahan untuk mencegah cedera seperti jatuh. Jika terjadi cedera kepala, pasien harus segera dievaluasi oleh profesional medis, terutama di UGD di mana CT scan dapat dilakukan untuk memastikan tidak terjadi perdarahan intrakranial.
Setiap obat memiliki efek merugikan. Sebagai perawat, kamu harus tahu dan menginformasikannya kepada pasien yang sedang jalani perawatan.
Referensi :
Barbut, F., & Meynard, J. L. (2002). Managing antibiotic associated diarrhoea. BMJ (Clinical research ed.), 324(7350), 1345–1346. https://doi.org/10.1136/bmj.324.7350.1345
McFarland L. V. (2007). Diarrhoea associated with antibiotic use. BMJ (Clinical research ed.), 335(7610), 54–55. https://doi.org/10.1136/bmj.39255.829120.47
Zhanel, G. G., Siemens, S., Slayter, K., & Mandell, L. (1999). Antibiotic and oral contraceptive drug interactions: Is there a need for concern?. The Canadian journal of infectious diseases = Journal canadien des maladies infectieuses, 10(6), 429–433. https://doi.org/10.1155/1999/539376
Kongkaew, C., Noyce, P. R., & Ashcroft, D. M. (2008). Hospital admissions associated with adverse drug reactions: a systematic review of prospective observational studies. The Annals of pharmacotherapy, 42(7), 1017–1025. https://doi.org/10.1345/aph.1L037
Dubrall, D., Just, K. S., Schmid, M., Stingl, J. C., & Sachs, B. (2020). Adverse drug reactions in older adults: a retrospective comparative analysis of spontaneous reports to the German Federal Institute for Drugs and Medical Devices. BMC pharmacology & toxicology, 21(1), 25. https://doi.org/10.1186/s40360-020-0392-9
de Vries EN, Ramrattan MA, Smorenburg SM, et al. The incidence and nature of in-hospital adverse events: a systematic review. Qual Saf Health Care. 2008;17(3): 216-223. doi: 10.1136/qshc.2007.023622
Kurian, J., Mathew, J., Sowjanya, K., Chaitanya, K. R., Ramesh, M., Sebastian, J., & Narayanappa, D. (2016). Adverse Drug Reactions in Hospitalized Pediatric Patients: A Prospective Observational Study. Indian journal of pediatrics, 83(5), 414–419. https://doi.org/10.1007/s12098-015-2002-1
Alldred DP, Raynor DK, Hughes C, et al. Interventions to optimise prescribing for older people in care homes. Cochrane Database Syst Rev. 2013;(2): CD009095. doi: 10.1002/14651858.CD009095.pub2
Tamblyn, R., Laprise, R., Hanley, J. A., Abrahamowicz, M., Scott, S., Mayo, N., Hurley, J., Grad, R., Latimer, E., Perreault, R., McLeod, P., Huang, A., Larochelle, P., & Mallet, L. (2001). Adverse events associated with prescription drug cost-sharing among poor and elderly persons. JAMA, 285(4), 421–429. https://doi.org/10.1001/jama.285.4.421
Valinciute, A., Gerbutaviciene, R. J., Paukstaitiene, R., & Kubiliene, L. (2023). Pharmacovigilance and Adverse Drug Reaction Reporting among the General Public in Lithuania: A Cross-Sectional Study. Healthcare (Basel, Switzerland), 11(8), 1133. https://doi.org/10.3390/healthcare11081133
Howard RL, Avery AJ, Slavenburg S, et al. Which drugs cause preventable admissions to hospital? A systematic review. Br J Clin Pharmacol. 2007;63(2): 136-147. doi: 10.1111/j.1365-2125.2006.02698.x
Kuriyama A, Jackson JL, Doi A, Kamiya T. Metronidazole-induced central nervous system toxicity: a systematic review. Clin Neuropharmacol. 2011;34(6): 241-247. doi: 10.1097/WNF.0b013e318238e3d0
White, L. D., Hodge, A., Vlok, R., Hurtado, G., Eastern, K., & Melhuish, T. M. (2018). Efficacy and adverse effects of buprenorphine in acute pain management: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials. British journal of anaesthesia, 120(4), 668–678. https://doi.org/10.1016/j.bja.2017.11.086
Abdel Shaheed, C., Maher, C. G., Furmage, A.-M., Hoffmann, T., & McLachlan, A. J. (2022). Better measuring and reporting of adverse events are needed in back pain trials of non-drug interventions. BMJ. https://doi.org/10.1136/bmj.o1055
Scaioli, G., Gualano, M. R., Gili, R., Masucci, S., Bert, F., & Siliquini, R. (2015). Antibiotic use: a cross-sectional survey assessing the knowledge, attitudes and practices amongst students of a school of medicine in Italy. PloS one, 10(4), e0122476. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0122476
Linder JA, Huang ES, Steinman MA, Gonzales R, Stafford RS. Fluoroquinolone prescribing in the United States: 1995 to 2002. Am J Med. 2005;118(3):259-268. doi: 10.1016/j.amjmed.2004.09.015
Ray WA, Murray KT, Hall K, Arbogast PG, Stein CM. Azithromycin and the risk of cardiovascular death. N Engl J Med. 2012;366(20):1881-1890. doi: 10.1056/NEJMoa1003833
Trifirò G, Gambassi G, Sen EF, et al. Association of community-acquired pneumonia with antipsychotic drug use in elderly patients: a nested case-control study. Ann Intern Med. 2010;152(7):418-425. doi: 10.7326/0003-4819-152-7-201004060-00006