Protes tenaga kesehatan (nakes) di seluruh Indonssia usai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) rupanya belum reda. Mereka pun sempat mengancam akan melakukan mogok nasional jika RUU tersebut tetap ketok palu.
Meski begitu, rencana mogok kerja nakes seluruh Indonesia disebut tidak lagi relevan. Ini disampaikan oleh Ketua Umum Terpilih PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI), yakni Hermawan Saputra.
"Secara mekanisme politik sudah terlewati, jadi kalau kita mogoknya sekarang ini sebagai tenaga kesehatan, rasanya tidak relevan," ungkap Hermawan seperti dilansir oleh laman kantor berita ANTARA, Kamis (13/7/2023).
Lebih jauh, Hermawan mengatakan bahwa mogok kerja tidak bisa menjadi solusi. Malah akan menjadi bumerang kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
"Kalau nakes bisa sampai mogok kerja, tentu ini tidak berimbas ke mana-mana, karena secara politik ini sudah ditetapkan sebagai UU. Tetapi, akan berdampak serius kepada masyarakat," paparnya.
Baca Juga :
- Nakes Seluruh Indonesia Ancam Mogok Kerja, Kemenkes: Ingat Pelayanan pada Pasien
- Cerita Evakuasi 14 Peserta Program Nusantara Sehat di Papua Barat Daya
Hermawan menyatakan bahwa sebelum UU diberlakukan, penting untuk melakukan advokasi yang kuat untuk melindungi hak-hak kesehatan. Dia juga mengungkapkan bahwa saat ini, mengajukan proses judicial review Undang-Undang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi adalah pendekatan yang lebih tepat daripada melakukan mogok kerja.
"Setelah diundangkan kan ada proses judicial review, atau digugat ke MK, dan lainnya. Langkah ini yang secara cerdas akan menuntun kita kepada proses berdemokrasi dan mengadvokasi secara bijaksana," ujar Hermawan. Ia turut menekankan pentingnya bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya memiliki kompetensi dalam memberikan layanan kesehatan, tetapi juga dalam advokasi dan kebijakan kesehatan.
Pendapat yang serupa juga diungkapkan oleh Profesor Tjandra Yoga Aditama, seorang Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Menurutnya, setelah RUU menjadi UU, ada dua opsi yang tersedia, yaitu melaksanakannya dengan pengawalan yang baik atau mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi.
"Sesuai aturan yang ada, maka tentu kalau ada yang ingin men-challenge pasal-pasal dalam UU, maka dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi," kata Tjandra.
Sebelumnya pada Selasa lalu (11/7/2023), Ketua Umum PPNI, Harif Fadhillah, mengumumkan bahwa telah dilakukan rapat nasional oleh organisasi tersebut. Dalam rapat tersebut, mogok kerja dipertimbangkan sebagai salah satu opsi jika RUU Kesehatan disahkan menjadi UU. PPNI juga akan berkoordinasi dengan organisasi profesi kesehatan lainnya, seperti PB-IDI, IBI, IAI, dan PDGI.
Namun, pada Rabu kemudian (12/7), Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi, mengumumkan bahwa akhirnya mereka dan organisasi lainnya tidak memilih opsi mogok kerja. Saat ini, mereka sedang mempersiapkan proses judicial review atas UU Kesehatan.
Kementerian Kesehatan sendiri sudah mengetahui rencana nakes mogok kerja untuk memprotes UU Kesehatan saat masih dalam tahap pembahasan. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes yakni dr. Siti Nadia Tarmizi mengaku khawatir bahwa jika terjadi, aksi mogok tersebut akan mengancam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pihaknya selalu mengimbau kepada para nakes agar selalu mengdepankan pelayanan kepada pasien ketimbang kepentingan organisasi apalagi perorangan.
"Aksi demo organisasi profesi cenderung tidak ada kepentingan publik dan pelayanan yang diberikan terhadap pasien," ungkapnya kepada Detikcom pada 5 Juni 2023.