RUU Kesehatan Omnibus Law ternyata mendapat penolakan dari lima organisasi profesi kesehatan. Mereka yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Puluhan tenaga kesehatan yang tergabung dalam Aliansi Nasional Tenaga Kesehatan dan Mahasiswa Kesehatan Seluruh Indonesia juga sudah menyuarakan penolakan RUU tersebut dalam aksi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada hari Senin (28/11/2022).
Dalam pernyataan bersama yang diterima Sejawat for Her, mereka menyebut ada empat poin yang membuat lima organisasi profesi menolak RUU Kesehatan Omnibus Law. Pertama, adalah minimnya transparansi tentang siapa pemlik inisiatif RUU ini.
"DPR menunjuk Kemenkes pembuatnya sementara Kemenkes menyebut RUU ini produk DPR. Terkesan kucing-kucingan," demikian pernyataan bersama tersebut.
Selain itu, naskah akademik yang jadi dasar pembahasan perumus kebijakan bahkan disebut tidak ada. Alhasil muncul desakan bahwa harus ada transparansi karena RUU ini melibatkan hajat hidup orang banyak.
Kedua, minim representasi Organisasi Profesi (OP) yang dilibatkan dalam proses pembahasan RUU, bahkan sama sekali tidak dilibatkan. Mereka menyebut ini melahirkan spekulasi bahwa peran OP akan dikerdilkan, sehingga berpotensi menjadi konflik dengan pemerintah.
"Pelibatan OP formal sangat krusial, agar suara tenaga profesional terdengar. Jangan sampai RUU ini menggunakan model cherry-picking; mengundang orang-orang tertentu yang seide dengan konten RUU dan mencatatnya sebagai perwakilan suara OP," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Ketiga, RUU Kesehatan Omnibus Law disebut sarat potensi liberisasi dan kapitalisasi sektor kesehatan. Ini dikhawatirkan akan memangkas hak rakyat sebagai konsumen. Selain itu, substansi isi RUU tersebut berpotensi mengancam akses masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional dan beretika.
Terakhir, mereka menyebut ada serangkaian upaya mengabaikan hal-hal yang telah mendapatkan putusan dari Mahkamah Konstitusi seperti Putusan Nomor 14/PPU-XII/2014, Putusan Nomor 82/PPU-XII/2015 serta Putusan Nomor 10/PPU-XV/2017 dan Nomor 80/PPU-XVI/2018. Semuanya menyangkut aktivitas para tenaga kesehatan dalam menjalankan pelayanan kesehatan pada masyarakat.
Ketua PB IDI Terpilih, Slamet Budiarto, juga sudah menyatakan tidak setuju RUU Kesehatan Omnibus Law masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2023. Menurutnya, yang lebih dibutuhkan untuk sekarang adalah UU Sistem Kesehatan Nasional.
"Intinya, IDI akan membantu negara untuk menyusun sistem kesehatan nasional yang kompleks, yang komprehensif, tapi bukan dalam bentuk Omnibus Law dengan mencabut UU Praktik Kedokteran," katanya saat bertemu dengan Badan Legisalasi (Baleg) DPR pada awal Oktober silam, seperti dikutip dari Merdeka.com.
Pernyataan bersama kelima OP juga menyebut bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law tidak memiliki urgensi. Selain itu, UU yang harusnya dibuat harusnya lebih mengena dengan situasi kesehatan masyarakat terkini. Seperti UU Telemedicine, UU Meta-Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat dan Vaksin Wabah.
Belum lagi maslalah Angka Kematian Ibu atau Bayi yang masih tinggi, target mengurangi stunting hingga 2,5% per tahun belum tercapai, sampai isu BPJS yang disebut belum jelas.
"Ini semua isu yang perlu penyelesaian segera. Bukan justru ujug-ujug membuat legislasi yang berpotensi menimbulkan konflik," demikian kata pernyataan tersebut.
Saat menerima perwakilan kelima OP pada Senin (28/11/2022), Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris menyebut bahwa pihaknya selalu bersedia mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kebijakan, termasuk tenaga kesehatan.
"Kami akan terus mendengarkan aspirasi dari berbagai organisasi termasuk organisasi profesi, termasuk apabila nanti disetujui di paripurna (menjadi RUU), pembahasannya harus komprehensif dan menguntungkan masyarakat banyak," ungkapnya seperti dilansir oleh situs resmi DPR RI.
Namun, ia menegaskan bahwa belum ada draf resmi RUU Kesehatan Omnibus Law yang bisa dibaca oleh publik.
"Bahwa sampai hari ini memang belum ada draf resmi dari RUU Kesehatan. Kalau yang beredar ya kita juga nggak tau siapa yang mengedarkan, isinya seperti apa, saya secara pribadi juga belum membaca, karena memang tahapannya belum sampai ke sana (draf RUU)," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg yakni M. Nurdin mengaku pihaknya sudah mengundang 28 pemangku kebijakan untuk didengarkan aspirasinya terkait penyusunan Naskah Akademik Omnibus Law Bidang Kesehatan.
"Kita dengar masukan dalam RDPU selalu terbuka, karena kalau tertutup nanti salah sangka. Bahkan kami mendengar masukan secara online dari tenaga kesehatan di berbagai daerah, bahkan dari Papua," ungkap Nurdin.