Pencarian

Studi Mengatakan Perempuan Lebih Efektif dalam Menangani Situasi Krisis

post-title

Ada fenomena menarik di tahun-tahun awal pandemik COVID-19. Semua mata tertuju pada Selandia Baru, sebuah negara kecil yang terkenal dengan lanskap pemandangan alamnya. Mereka secara efektif berhasil membendung lonjakan kasus, dan tak pernah mencapai angka dua digit. Saat para penduduk di berbagai belahan dunia meringkuk dalam rumah, penduduk Selandia bisa tetap bebas beraktivitas di luar ruangan tanpa masker.

Keberhasilan mereka disematkan ke pundak sang Perdana Menteri, Jacinda Ardern, kepala pemerintahan ke-40 sepanjang sejarah Selandia Baru. Tapi, politikus 41 tahun tersebut tetap memberi kredit pada seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan yang bahu membahu melacak seluruh potential carrier dari rumah ke rumah.

Apa yang dilakukan Ardern di negeri berpenduduk 5 juta jiwa tersebut mengingatkan pada fenomena “tebing kaca” (”glass cliff”), sebuah istilah yang diperkenalkan duo psikolog asal University of Exeter yakni Michelle K. Ryan dan Alexander Haslam pada 2004.

Istilah tersebut menggambarkan sebuah fenomena perempuan dalam tampuk kepemimpinan, seperti eksekutif di perusahaan dan dunia politik, sering diberi kepercayaan untuk membereskan kekacauan atau saat risiko kegagalan jauh lebih tinggi. Ibarat harus mendaki tebing kaca yang sangat rapuh.

Dalam artikel di Harvard Business Review (HBR) pada Desember 2020, Jack Zenger dan Wenger Folkman (dua konsultan kepemimpinan tersohor) menulis bahwa penilaian atas efektivitas kepemimpinan perempuan di masa pandemik justru meningkat ketimbang sebelum pandemik.

Berdasarkan data yang mereka himpun, pemimpin perempuan yang sebelumnya cuma 53,1% saja, kini mencapai 57,2%. Sedangkan laki-laki tak banyak meningkat, dari 49,8% ke 51,5%.

Lebih jauh, wanita mendapat penilaian lebih bagus dalam 13 dari 19 kompetensi dalam penilaian yang mencakup efektivitas kepemimpinan secara keseluruhan. Beberapa yang dinilai seperti keberanian mengambil inisiatif, kemampuan memotiviasi, kolaborasi (teamwork), komunikasi, dan masih banyak lagi.

Laki-laki sendiri cuma mendapat penialaian positif dalam satu kompetensi saja, yakni keahlian teknis atau profesional. Tapi perbedaan dalam hal persentase tidak terlalu signifikan secara statistik.

Hubungan emosional antara staf dan atasan juga akan lebih tinggi jika perempuan yang berada di tampuk kepemimpinan. Survei Zenger-Folkman menemukan bahwa laki-laki cuma mendapat 49,2 persen, sedangkan perempuan mencapai 55,2 persen

Lantas apa yang membuat perempuan bisa menjadi pemimpin kompeten di masa sulit dan membangun kepercayaan dalam waktu singkat? Zenger-Folkman menuturkan bahwa para staf yang menjadi responden mendasarkan penilaian mereka pada empat hal kemampuan yakni memotivasi/menginspirasi, komunikasi yang kuat, kolaborasi/kerja tim, hingga membangun relasi.

Lebih jauh, duo motivator asal Amerika Serikat tersebut mengakui terdapat kesamaan studi kepemimpinan perempuan dengan hasil penelitian terkait persepsi keberhasilan gubernur perempuan di pemerintahan Negeri Paman Sam. Mereka disebut mampu membangun kesadaran yang efektif dengan menggambarkan ketakutan, tingkat kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat, dan keyakinan pada rencana yang sudah dirancang.

Para responden mengaku ingin pemimpin dengan keinginan terus mencoba kemampuan baru, tetap meminta staf berkembang meski jalani masa-masa sulit, setia dengan nilai kejujuran dan integritas, serta peka dengan situasi stres yang menimpa staf. Dan hal-hal ini yang membuat para pemimpin perempuan jauh lebih unggul ketimbang laki-laki.

Di sisi lain, Sylvia Ann Hewlett dalam tulisan di HBR pada Oktober 2008 silam menulis bahwa pemimpin perempuan sangat jarang mendapat kesempatan kedua di situasi darurat. Ini lantaran mereka cuma memiliki sedikit dukungan dan mentor ketimbang pemimpin laki-laki.

Namun, apa yang dilakukan oleh Jacinda Ardern di Selandia Baru, dan para pemimpin pemerintahan negara-negara lain di seluruh dunia, tak muncul begitu saja. Perlu pengalaman bertahun-tahun sebelum pantas menempati tampuk teratas sebuah institusi.

Lalu bagaimana jika krisis terus berlanjut? Jawabannya mudah. Semua orang harus saling bantu, memutar otak dan mencari solusi, tanpa memandang gender lagi.

Twitter