Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan resmi menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR-RI yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa siang (11/7/2023).
"Kami akan menanyakan kepada fraksi lainnya, apakah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang," kata Ketua DPR RI Puan Maharani saat memimpin rapat paripurna, seperti dilansir oleh laman ANTARA.
Sebanyak tujuh dari sembilan fraksi di DPR menjawab setuju. Pertanyaan Puan tentang apakah RUU Kesehatan bisa menjadi UU kembali dijawab setuju.
Proses RUU Kesehatan sampai Menjadi UU
RUU Kesehatan, yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal, masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas DPR-RI sejak Februari 2023. Kemudian, DPR-RI menyampaikan RUU ini kepada Presiden Joko Widodo pada 7 Maret 2023.
Presiden menunjuk Kementerian Kemenkes RI dan kementerian/lembaga (K/L) terkait menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pihak pemerintah pada 9 Maret 2023.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kemudian mengadakan public hearing dan sosialisasi pada 13-31 Maret 2023, yang ditujukan kepada kelompok organisasi profesi, masyarakat sipil, dan kelompok terkait lainnya.
Selanjutnya, pada 19 Juni 2023 dilaksanakan rapat kerja bersama pemerintah dengan agenda pengambilan keputusan tingkat I, dan disepakati untuk dibawa ke tingkat selanjutnya yakni pengesahan dalam rapat paripurna DPR RI.
Baca Juga :
- Tolak RUU Kesehatan, Ketum PPNI : Ini Mengancam Peran Perawat
- RUU Kesehatan Omnibus Law Ditolak Lima OP, DPR Berkilah Belum Ada Draftnya
Protes untuk RUU Kesehatan
Sebanyak dua fraksi DPR-RI menyatakan tidak setuju kepada pengesahan RUU Kesehatan, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perwakilan Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, kepada ANTARA mengatakan mereka menolak lantaran RUU tersebut membuat lebih menghapus mandatory spending untuk anggaran kesehatan.
Mandatory spending sendiri dipandang masih penting dalam menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup. Hal tersebut sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2014.
Sedangkan Netty Prasetiyani, perwakilan Fraksi PKS, mengatakan bahwa proses penyusunan RUU Kesehatan terkesan tergesa-gesa sehingga menjadi preseden yang kurang baik untuk proses legislasi di masa mendatang.
RUU Kesehatan juga mendapat penolakan langsung dari perwakilan lima organisasi profesi kesehatan yakni IDI, PDGI, PPNI, IBI dan IAI. Ketua Umum DPP PPNI, Harif Fadhillah, menyebut bahwa RUU Kesehatan ini mengancam rakyat dan peran perawat.
"Omnibus RUU Kesehatan mengabaikan hak masyarakat atas fasilitas pelayanan kesehatan yang layak, bermutu, dan manusiawi," tegas Harif seperti dilansir oleh situs resmi PPNI, 30 November lalu.
Tak cuma berpotensi mengabaikan hak-hak masyarakat dan tenaga kesehatan atas perlindungan hukum dan keselamatan, Harif menduga RUU Kesehatan ini sarat dengan kepentingan komersial.
"Omnibus RUU Kesehatan mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing tanpa kompetensi, keahlian, dan kualifikasi yang jelas serta tidak memperhatikan kearifan masyarakat nasional di dalam negeri," ujarnya.