Sebagai ujung tombak pelayanan di Rumah Sekit, penting bagi perawat untuk memahami triase IGD sebagai langkah pertama dan utama dalam proses pelayanan kesehatan-keperawatan.
Oleh karena itu, berikut ini lebih dari 30 pertanyaan dan jawaban yang perlu diketahui oleh seorang perawat mengenai triase gawat darurat. Dari A sampai Z, alias komplit!
Apa itu triase?
Triase adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus untuk memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan, serta fasilitas yang paling efisien terhadap hampir 100 juta orang yang memerlukan pertolongan gawat darurat setiap tahunnya.
Awalnya, istilah "trier" digunakan untuk penapisan alias screening di medan perang, dan sekarang lazim digunakan dalam berbagai sistem triase. Pada akhir tahun 1950-an, berbagai sistem triase mulai dikembangkan sebagai respons terhadap jumlah kunjungan IGD yang semakin meningkat dan melampaui kemampuan sumber daya yang ada untuk melakukan penanganan segera.
Tujuan dari triase adalah untuk menggolongkan semua pasien yang datang ke IGD dan menetapkan prioritas penanganannya.
Berapa lama waktu untuk melakukan proses triase?
Waktu yang digunakan untuk melakukan proses triase biasanya dihitung selama 2 sampai 5 menit per pasien, meskipun menurut D.A. Travers hanya 22% dari pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang dapat menyelesaikan triase dalam waktu tersebut.
Waktu tersebut akan lebih lama untuk pasien yang lebih tua, dan akan lebih singkat jika tanda-tanda vital pasien tidak perlu diperiksa. Lebih jauh, menurut R.K. Keddington, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk proses triase pada pasien anak-anak adalah 7 menit.
Siapa yang berhak melakukan proses triase di IGD?
JCA-HO (Joint Commission for Accreditation of Healthcare Organizations) menetapkan kompetensi klinis yang diperlukan oleh perawat di bidang gawat darurat, meskipun tidak ada persyaratan spesifik untuk menjadi perawat triase.
Menurut standar praktik Emergency Nurses Association tahun 1999, triase yang efektif dan efisien hanya dapat dilakukan oleh perawat profesional yang terdaftar dan terlatih dalam prinsip-prinsip triase serta memiliki pengalaman minimal 6 bulan di unit keperawatan gawat darurat.
Selain pengalaman kerja di IGD, apa lagi syarat atau kualifikasi yang harus dimiliki perawat triase?
Valerie V.A. Grossman memberikan rekomendasi mengenai kualifikasi perawat triase, yaitu menunjukkan pemahaman terhadap orientasi kedaruratan rumah sakit berdasarkan kompetensi, memiliki sertifikasi Advanced Cardiac Life Support (ACLS), Pediatric Advanced Life Support (PALS), serta telah lulus Emergency Nurse Pediatric Course (ENPC) dan Trauma Nurse Core Curriculum (TNCC).
Selain itu, perawat triase juga sebaiknya memiliki sertifikasi dalam Keperawatan Kedaruratan (Certification in Emergency Nursing; CEN) serta pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen dan berbagai pelayanan kedaruratan setempat.
Kemampuan pengkajian yang tepat, komunikasi, hubungan antarpribadi, penanganan konflik, pendelegasian, dan pengambilan keputusan juga merupakan hal yang diperlukan. Perawat triase sebaiknya fleksibel, dapat beradaptasi, mampu melakukan antisipasi, dan tidak mudah panik.
Apa saja kategori/klasifikasi pengambilan keputusan triase yang lazim digunakan?
Sistem triase merupakan proses prioritas penanganan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan. Beberapa sistem triase yang lazim digunakan antara lain:
1. Sistem triase Manchester
Sistem triase Manchester mengklasifikasikan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pada 5 kategori warna, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, dan biru. Pasien dengan kategori warna merah memerlukan penanganan segera, sementara pasien dengan kategori warna biru memerlukan penanganan lebih lambat.
2. Sistem triase Australasian Triage Scale (ATS)
Sistem triase ATS mengklasifikasikan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pada 5 kategori, yaitu kategori 1 (keadaan sangat kritis), kategori 2 (keadaan kritis), kategori 3 (keadaan yang memerlukan penanganan segera), kategori 4 (keadaan yang memerlukan penanganan dalam waktu 30 menit), dan kategori 5 (keadaan yang memerlukan penanganan dalam waktu 2 jam).
3. Sistem triase Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS)
Sistem triase CTAS mengklasifikasikan pasien berdasarkan tingkat kegawatdaruratan pada 5 kategori, yaitu kategori 1 (keadaan yang mengancam jiwa), kategori 2 (keadaan yang memerlukan penanganan segera), kategori 3 (keadaan yang memerlukan penanganan dalam waktu 30 menit), kategori 4 (keadaan yang memerlukan penanganan dalam waktu 1 jam), dan kategori 5 (keadaan yang memerlukan penanganan dalam waktu 2 jam).
4. Sistem triase Simple Triage and Rapid Treatment (START)
Sistem triase START digunakan dalam bencana masal dan mengklasifikasikan pasien berdasarkan tingkat keparahan cedera dan kemampuan pasien untuk bertahan hidup. Sistem ini membagi pasien ke dalam 4 kategori, yaitu kategori merah (pasien yang kritis dan memerlukan penanganan segera), kategori kuning (pasien yang memerlukan penanganan dalam waktu 30 menit), kategori hijau (pasien yang dapat menunggu penanganan), dan kategori hitam (pasien yang tidak dapat diselamatkan).
Setiap sistem triase memiliki metode yang berbeda dalam menentukan tingkat kegawatdaruratan pasien, namun tujuannya sama yaitu untuk memprioritaskan penanganan pasien yang paling membutuhkan dan memberikan pelayanan medis yang tepat waktu.
Lalu bagaimana dengan sistem triase "spot check"?
Sistem triase spot check adalah sistem triase yang lebih sederhana dan cepat dibandingkan dengan sistem triase lainnya. Pada sistem triase spot check, hanya dilakukan pemeriksaan singkat terhadap pasien untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti oximeter, tensimeter, dan termometer untuk mengukur saturasi oksigen, tekanan darah, dan suhu tubuh pasien. Umumnya cuma butuh waktu 2-3 menit.
Sistem triase spot check ini lebih cocok untuk digunakan pada situasi darurat atau bencana, di mana jumlah pasien sangat banyak dan waktu yang tersedia sangat terbatas. Tapi, sistem triase ini tidak cocok untuk kasus-kasus yang memerlukan penilaian lebih detail dan lengkap, seperti pada kondisi medis yang kompleks atau pada pasien dengan riwayat penyakit yang rumit.
Bagaimana dengan sistem triase komprehensif?
Triase komprehensif adalah metode standar yang dianjurkan oleh Emergency Nurses Association (ENA) untuk mengevaluasi pasien gawat darurat. Triase ini melibatkan evaluasi awal dengan memperhatikan keadaan umum pasien, jalan nafas (A), pernapasan (B), sirkulasi (C), dan tingkat kesadaran/disabilitas (D), yang semuanya merupakan elemen penting dari primary survey.
Setelah itu, dilakukan pengkajian yang lebih mendalam terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik pasien, termasuk exposure (E) dan tanda-tanda vital secara lengkap (F).
Untuk lebih akurat, perawat dapat mengevaluasi tanda vital kelima dengan menggunakan oksimetri nadi (pulse oximetry) dan melakukan evaluasi nyeri. Jika memungkinkan, berbagai aspek dari secondary survey juga dinilai. Pasien kemudian dievaluasi kembali pada interval waktu yang sesuai sambil menunggu tindakan kedaruratan berikutnya.
Lalu seperti apa sistem triase two-tier?
Sistem triase two tier membagi pasien menjadi dua tingkatan berdasarkan urgensi kebutuhan medis. Pasien pada tingkat satu adalah pasien yang membutuhkan perawatan segera karena mengalami kondisi gawat darurat atau keadaan kritis yang membutuhkan penanganan segera, seperti serangan jantung, pendarahan yang tidak terkontrol, dan lain-lain.
Pasien pada tingkat dua adalah pasien yang membutuhkan perawatan medis, tetapi dapat menunggu lebih lama karena kondisi kesehatannya tidak mengancam jiwa, seperti pasien dengan demam, sakit kepala, atau luka yang tidak terlalu parah.
Proses triase dimulai dengan pengkajian singkat yang dilakukan oleh petugas triase atau perawat yang bertanggung jawab. Setiap pasien diidentifikasi berdasarkan tingkat keparahan keadaan medisnya. Pasien dengan kondisi gawat darurat atau keadaan kritis akan diberikan prioritas lebih tinggi dan akan ditangani lebih dulu.
Setelah pasien ditriase, petugas triase akan menunjukkan prioritas tindakan kepada tim medis yang bertanggung jawab untuk menangani pasien. Pasien dengan prioritas tinggi akan ditangani segera, sedangkan pasien dengan prioritas rendah dapat menunggu lebih lama.
Sistem triase two tier ini membantu meningkatkan efisiensi waktu dan sumber daya medis, dengan memastikan bahwa pasien yang membutuhkan perawatan segera mendapatkan prioritas tinggi dan ditangani segera. Sistem ini juga membantu meminimalkan waktu tunggu bagi pasien dengan kondisi yang tidak mengancam jiwa, sehingga mereka bisa mendapatkan perawatan medis sesuai kebutuhan mereka dengan lebih efektif.
Bisa jelaskan apa itu sistem triase expanded?
Sistem ini merujuk pada serangkaian protokol yang dirancang untuk memberikan perawatan awal pada area triase. Protokol yang umumnya digunakan meliputi tindakan pertolongan pertama seperti pembalutan luka, pengompresan, dan perawatan luka, pemeriksaan sinar-X pada ekstremitas, pemberian obat antipiretik tanpa resep dokter, imunisasi tetanus, tes urin, tes kehamilan, tes gula darah, dan penilaian penglihatan.
Dengan manfaatnya, sistem ini dapat menjadi tambahan untuk sistem triase komprehensif atau sistem triase two tier yang tadi sudah dijelaskan.
Bisa berikan contoh standar pemberian obat tanpa resep dokter di IGD?
Standar pemberian obat tanpa resep dokter di IGD biasanya meliputi obat-obatan yang diberikan dalam situasi tertentu dengan dosis dan cara pemberian yang sesuai. Contohnya adalah :
1. Parasetamol: digunakan untuk mengatasi demam dan nyeri ringan hingga sedang dengan dosis maksimal 1 gram per kali minum dan 4 gram per hari.
2. Ibuprofen: digunakan untuk mengatasi demam dan nyeri ringan hingga sedang dengan dosis maksimal 400 mg per kali minum dan 1.200 mg per hari.
3. Cetirizine: digunakan untuk mengatasi gejala alergi seperti gatal-gatal dan hidung tersumbat dengan dosis maksimal 10 mg per hari.
4. Loperamide: digunakan untuk mengatasi diare dengan dosis maksimal 8 mg per hari.
Namun, perlu diingat bahwa pemberian obat tanpa resep dokter sebaiknya dilakukan setelah melalui proses penilaian dan konsultasi medis terlebih dahulu, baik secara langsung maupun melalui telekonsultasi. Selain itu, obat-obatan tersebut sebaiknya diberikan oleh petugas kesehatan yang terlatih dan sesuai dengan standar protokol yang berlaku di IGD.
Apa itu sistem triase bedside?
Sistem triase bedside adalah pendekatan dalam penilaian triase yang dilakukan oleh perawat langsung di sisi tempat tidur pasien, tanpa memindahkan pasien ke area triase khusus. Dalam sistem ini, perawat akan menentukan tingkat kegawatan pasien berdasarkan evaluasi cepat terhadap gejala yang ada.
Sistem triase bedside ini biasanya diterapkan di area gawat darurat atau unit perawatan intensif di mana pasien memerlukan penanganan cepat dan prioritas. Metode ini memungkinkan perawat untuk memantau pasien secara lebih intensif dan memberikan perawatan awal yang lebih tepat dan cepat.
Namun, sistem triase bedside tidak dapat digunakan dalam situasi bencana atau keadaan yang memerlukan penilaian triase secara massal.
Bisa jelaskan apa saja yang harus di-anamnesa ketika triase?
Biasanya pada triase, anamnesa akan berfokus pada keluhan utama pasien, termasuk di dalamnya adalah uraian tentang keluhan yang dirasakan, cara cedera terjadi, kapan masalah muncul dan hilang serta tindakan yang sudah dilakukan sebelum pasien tiba di IGD. Ada mnemonik yang digunakan untuk menganalisis keluhan utama pasien yaitu PQRSTT.
- P adalah Provokes (pemicu) dan menanyakan apakah ada riwayat trauma.
- Q adalah Quality (kualitas) dan menanyakan bagaimana pasien merasakan gejala.
- R adalah Radiation (penyebaran) dan menanyakan di mana letak gejala tersebut dan kemana gejala tersebut menyebar.
- S adalah Severity (intensitas) dan menentukan intensitas/tingkat keparahan gejala dengan skala 1-10.
- T adalah Time (waktu) dan menanyakan berapa lama gejala terjadi serta pernahkah terjadi sebelumnya, dan T adalah Treatment (penanganan) dan menanyakan penanganan yang dilakukan sebelum pasien tiba di IGD.
Selain itu, juga ditanyakan riwayat alergi, obat-obatan terakhir yang digunakan, imunisasi, haid terakhir dan riwayat medis sebelumnya. Penting juga untuk mencatat cara pasien tiba di IGD.
Apa ada mnemonik lain yang bisa digunakan?
Ada. Mnemonik ini disebut OLD CART, yakni alat yang digunakan dalam anamnesis pasien untuk memahami keluhan nyeri yang dialaminya. OLD CART singkatan dari:
O - Onset: Kapan nyeri dimulai?
L - Location: Dimana nyeri terjadi?
D - Duration: Berapa lama nyeri terjadi?
C - Character: Bagaimana karakteristik nyeri tersebut (tajam, menusuk, terbakar, dsb.)?
A - Aggravating/Alleviating factors: Faktor-faktor apa yang membuat nyeri bertambah buruk atau mereda?
R - Radiation: Apakah nyeri menyebar ke area lain?
T - Treatment: Apa yang telah dilakukan untuk meredakan nyeri?
Apa saja yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan triase?
Dalam pengambilan keputusan triase, perlu dipertimbangkan beberapa faktor seperti :
1. Tingkat keparahan kondisi pasien: Pasien yang mengalami kondisi yang mengancam jiwa harus mendapat prioritas yang lebih tinggi dalam triase.
2. Tipe cedera atau penyakit: Beberapa jenis cedera atau penyakit mungkin memerlukan perawatan segera, sementara yang lainnya dapat menunggu lebih lama.
3. Usia pasien: Pasien yang lebih muda atau lebih tua mungkin memerlukan perawatan lebih intensif.
4. Riwayat kesehatan pasien: Pasien dengan riwayat penyakit kronis atau kondisi medis tertentu mungkin memerlukan perawatan lebih lanjut.
5. Ketersediaan sumber daya: Kapasitas pelayanan kesehatan dan ketersediaan tenaga medis juga harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan triase.
Dalam mempertimbangkan faktor-faktor ini, perawat harus tetap mengikuti prosedur triase yang berlaku dan mempertimbangkan prinsip-prinsip etika dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Bisa jelaskan tips untuk melakukan triase saat ternyata ada lebih dari satu pasien yang datang bersamaan?
Untuk memulai proses triase, pastikan untuk mendengarkan keluhan pasien dan mencocokkannya dengan kondisinya. Selanjutnya, lakukan pengkajian penting secepat mungkin, seperti memeriksa denyut nadi pada lengan yang mengalami fraktur dan memberikan pertolongan pertama, seperti menekan luka yang berdarah dengan kasa steril. Pedoman dasar triase menggunakan pedoman ABCD (Airway, Breathing, Circulation, Disability), dan perlu dipertimbangkan intensitas setiap fungsi tersebut.
Prioritas harus diberikan kepada gejala yang berulang atau intensitasnya meningkat, gejala dengan perubahan pasti pada keadaan tubuh, kemunduran yang progresif, jumlah sistem yang terlibat, usia pasien, sumber masalah yang tidak dapat dijelaskan, keharusan pasien berbaring karena keluhan sistemik, dan keharusan observasi dan kontrol yang ketat.
Seperti apa kriteria untuk menetapkan pasien yang dipisahkan dari triase, baik itu observasi atau perawatan minor?
Setiap rumah sakit memiliki kriteria sendiri untuk memilih pasien yang memenuhi syarat untuk ditangani di unit perawatan minor sebagai hasil dari triase. Kriteria-kriteria tersebut biasanya terkait dengan kondisi medis yang memerlukan penanganan dalam waktu kurang dari satu jam dan kemudian pasien dapat dipulangkan.
Kriteria-kriteria tersebut meliputi kemampuan menangani keluhan utama atau masalah yang dapat memengaruhi lebih dari satu sistem jika tidak ditangani dengan cepat (seperti nyeri abdomen pada wanita), perkiraan kebutuhan rawat inap, dan adanya kebutuhan untuk penanganan psikologis intensif (seperti dugaan penganiayaan).
Beberapa IGD juga mungkin mengirimkan pasien luka ke unit perawatan minor karena keterbatasan brankar setelah pemberian pertolongan pertama.
Apa sih perbedaan sistem triase untuk pasien pediatrik dan dewasa?
ENPC (Emergency Nursing Pediatric Course) menjelaskan bahwa triase pada anak terdiri dari dua tahap, yaitu pengkajian umum dan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang lebih detail. Pengkajian umum mengevaluasi keadaan umum, fungsi pernapasan, dan sirkulasi anak, dan berdasarkan hasilnya, perawat memutuskan anak mana yang harus dianamnesis terlebih dahulu.
Keluarga juga penting dalam pengkajian dan penanganan pasien anak. ENPC merekomendasikan mnemonik CIAMPEDS untuk melakukan anamnesis riwayat medis pada pasien anak. Berat badan merupakan tanda vital penting pada anak, sedangkan tekanan darah sering diabaikan pada anak usia 2-5 tahun.
Strategi penting dalam triase anak adalah menunda tindakan yang paling tidak nyaman untuk anak, seperti pemeriksaan suhu rektal, hingga akhir dan mengumpulkan data sebanyak mungkin saat anak masih dalam pelukan orang tua atau pengasuhnya.
Lalu bagaimana itu mnemonik CIAMPEDS?
Mnemonik CIAMPEDS (dibaca: See I am peds, Lihat saya (pasien) pediatrik) digunakan untuk membantu perawat dalam melakukan anamnesis riwayat medis pada pasien pediatrik. Berikut ini arti dari setiap huruf pada mnemonik CIAMPEDS:
- C (Chief Complaint): Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien atau orang tua.
- I (Immunization, need for Isolation): Informasi tentang status vaksinasi dan perlunya isolasi.
- A (Allergies): Informasi tentang riwayat alergi.
- M (Medication): Informasi tentang obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan.
- P (Past medical history, Parent's impression): Informasi tentang riwayat medis pasien dan kesan orang tua terhadap kondisi anak.
- E (Events surrounding): Informasi tentang peristiwa yang terjadi sebelumnya, seperti trauma atau kecelakaan.
- D (Diet, Diapers): Informasi tentang pola makan dan penggunaan popok.
- S (Symptoms): Informasi tentang gejala yang berkaitan dengan kondisi sakit atau cedera pasien.
Dengan menggunakan mnemonik CIAMPEDS, perawat dapat mengumpulkan informasi yang lebih lengkap dan terorganisir dalam melakukan anamnesis pada pasien pediatrik.
Apa ada mnemonik lain khusus untuk pasien pediatrik?
Tripsor-Klinkhammer dan Andreoni dari Emergency Nurse Association, State Council, Hawaii, menyampaikan mnemonik SAVE A CHILD yang digunakan untuk membantu mengenali penyakit serius pada pasien pediatrik. SAVE adalah observasi sebelum kita menyentuh anak, dan A CHILD merupakan komponen penting dalam anamnesis medis pediatrik serta pemeriksaan fisik. SAVE A CHILD terdiri dari:
- S, Skin (kulit; seperti petekie atau bintik-bintik merah pada kulit)
- A, Activity (aktivitas; seperti daya respons anak)
- V, Ventilation (ventilasi; seperti retraksi pernapasan, nafas cuping hidung)
- E, Eye contact (kontak mata; seperti mata berkaca-kaca, mata tidak bisa menatap pada suatu objek)
- A, Abuse (penganiayaan; seperti luka memar yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, orang tua yang tidak tepat)
- C, Cry (tangisan; seperti tangisan bernada tinggi, melengking)
- H, Heat (panas; seperti demam)
- I, Immune (kekebalan tubuh)
- L, Level of consciousness (tingkat kesadaran; seperti irritabilitas, letargik)
- D, Dehydration (dehidrasi; seperti CRT (capilary refill time), diare/muntah hebat)
Apa saja hal yang harus diingat saat mengevaluasi status pasien geriatrik?
a. Pelaporan yang kurang jelas atau under-reporting
Pasien lanjut usia memiliki kecenderungan untuk melaporkan gejala mereka dengan tidak jelas. Pasien geriatrik seringkali mengalami sakit kronis selain penyakit akut yang sedang mereka alami, dengan penurunan kemampuan fisiologis untuk mengimbangi penyakitnya.
b. Polifarmasi
Penggunaan lebih dari satu jenis obat berpotensi menimbulkan interaksi obat yang berbahaya. Populasi geriatrik diperkirakan mengkonsumsi 25% dari seluruh obat yang tersedia dan 70% dari obat-obatan tersebut adalah obat-obatan bebas yang tersedia di pasaran, dengan lebih dari 1/3 dari populasi geriatrik menggunakan delapan jenis obat atau lebih setiap hari.
Risiko interaksi obat sebesar 50% akan terjadi ketika 5 jenis obat yang berbeda diminum pada hari yang sama, dan risiko tersebut akan meningkat menjadi 100% jika lebih dari 8 jenis obat diminum dalam satu hari.
c. Perubahan fungsi atau perilaku
Perubahan fungsi atau perilaku yang diamati selama pengkajian pasien geriatrik bisa lebih berkaitan dengan proses penuaan (degenerasi) daripada penyakitnya. Di sisi lain, pasien geriatrik dapat menunjukkan suatu gejala perilaku hanya ketika menderita penyakit baru. Sebagai contoh, pasien yang menderita penyakit Alzheimer mungkin menunjukkan gejala kegelisahan sebagai gejala primer infeksi urinarius yang baru diderita. Konfusi yang baru muncul ini kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada penyakit geriatrik akibat berkurangnya oksigenasi.
d. Gejala yang tidak jelas
Pasien lanjut usia seringkali tidak menunjukkan gejala klasik yang sesuai dengan teori, tetapi menunjukkan gejala dan tanda yang tidak jelas. Dengan bertambahnya usia seseorang, sistem kekebalan tubuhnya akan menurun, sehingga pasien tidak lagi menunjukkan respons fisiologis yang biasa terhadap penyakitnya, seperti gejala nyeri dan demam. Sebagai contoh, pada pasien geriatrik yang menderita pneumonia, 25-30% dari pasien tersebut tidak mengalami demam dan 20% tidak menunjukkan leukositosis.
Bisa sebutkan pertimbangan khusus lain yang harus dilakukan saat berkomunikasi dengan pasien geriatrik?
Sekitar 10% dari populasi yang berusia 65 tahun atau lebih, dan hampir 50% populasi berusia 85 tahun atau lebih, mengalami penyakit Alzheimer. Pasien yang menderita penyakit Alzheimer akan mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang baru. Selain itu, 50% orang lanjut usia (berusia lebih dari 65 tahun) memiliki masalah pendengaran yang kurang.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi dengan lansia, yaitu :
a. Membatasi materi yang disampaikan,
b. Menghindari kata-kata kiasan,
c. Menciptakan lingkungan yang sederhana dengan kebisingan yang sedikit,
d. Meningkatkan pencahayaan, dan
e. Memberikan bahan bacaan dengan huruf yang besar.
Lalu bagaimana dengan evaluasi saat melakukan triase pada pasien dengan keluhan psikiatrik?
Buatlah evaluasi terhadap hal-hal berikut :
- Alasan pasien datang ke IGD.
- Kemungkinan adanya niat untuk melukai diri sendiri.
- Kemungkinan adanya niat untuk mencelakai orang lain.
- Gangguan pola pikir.
- Gejala fisik, alergi, obat-obatan yang digunakan, dan masalah kesehatan lainnya.
Selain itu, beberapa IGD menggunakan skala standar triase psikiatrik seperti Beck Depression Inventory (BDI), Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) atau Mini-Mental State Examination (MMSE) untuk membedakan tingkat gangguan psikologis.
Perlu diwaspadai jika pasien sering menjawab "tidak tahu" karena hal tersebut dapat menunjukkan adanya status depresi pada pasien.
Apa saja kesulitan yang dihadapi pada pelaksanaan triase?
1. Keterbatasan sumber daya: Di beberapa situasi, sumber daya medis dan non-medis dapat terbatas, seperti jumlah perawat dan dokter, alat medis, dan obat-obatan. Hal ini dapat mempengaruhi proses triase dan memperburuk kondisi pasien.
2. Keterlambatan penilaian: Jika pasien memerlukan perawatan segera, penundaan penilaian dapat memperburuk kondisi pasien dan mengakibatkan kecacatan atau kematian.
3. Kepastian diagnosis: Kadang-kadang, kondisi pasien dapat membingungkan dan sulit untuk menentukan diagnosis yang tepat dalam waktu singkat. Hal ini dapat mempengaruhi proses triase dan pengobatan yang tepat.
4. Kondisi psikologis pasien: Beberapa pasien mungkin mengalami stres atau kecemasan yang berat saat datang ke instalasi gawat darurat. Ini dapat mempersulit proses triase dan membuat penilaian menjadi lebih sulit.
5. Komunikasi yang buruk: Keterbatasan bahasa, bahasa tubuh, atau masalah pendengaran dapat membuat komunikasi antara perawat dan pasien menjadi sulit. Hal ini dapat mempengaruhi proses triase dan membuat diagnosis yang tepat menjadi sulit.
6. Hanya fokus pada keluhan yang ada (seperti cedera karena jatuh) dan tidak menanyakan apakah pasien jatuh karena sinkop atau alasan lain.
7. Kehilangan objektivitas, seperti mengabaikan pasien yang sering datang ke IGD.
8. Teralihkan perhatiannya karena terlalu banyak pasien. Seperti mengambil keputusan triase berdasarkan tingkat aktivitas IGD daripada keluhan utama pasien.
9. Membiarkan perilaku pasien memengaruhi pengambilan keputusan. Seperti memprioritaskan pemeriksaan pasien yang rewel namun kondisinya stabil daripada pasien yang diam namun tapi lebih gawat.
Apa itu EMTALA?
EMTALA adalah singkatan dari Emergency Medical Treatment and Active Labor Act, yaitu undang-undang federal di Amerika Serikat yang mengharuskan rumah sakit untuk memberikan layanan gawat darurat pada pasien yang membutuhkan perawatan medis, termasuk pasien yang tidak memiliki asuransi atau kemampuan finansial.
Undang-undang ini juga melindungi pasien dari praktik-praktik diskriminatif, seperti pemeriksaan medis yang tidak perlu dan penolakan pasien yang tidak stabil. EMTALA diberlakukan pada tahun 1986 dan masih berlaku hingga saat ini.
Apa sih hubungan EMTALA dengan proses triase?
EMTALA mengharuskan rumah sakit yang menerima pasien di Unit Gawat Darurat (UGD) untuk memberikan perawatan darurat yang tepat pada semua pasien yang memerlukannya, tanpa memandang kemampuan keuangan pasien. Ini termasuk proses triase untuk menentukan urutan prioritas pelayanan medis berdasarkan tingkat kegawatan dan keparahan kondisi pasien.
Dalam proses triase, pasien dengan kondisi paling gawat harus diberi perawatan terlebih dahulu, sesuai dengan skala prioritas triase. EMTALA memastikan bahwa semua pasien harus dinilai secara objektif dan diberi perawatan darurat yang layak, tanpa adanya diskriminasi apapun. Oleh karena itu, EMTALA sangat terkait dengan proses triase dalam menentukan prioritas dan memberikan perawatan yang tepat pada pasien di Unit Gawat Darurat.
Menurut EMTALA, bisakah pasien menjalani triase di ruangan IGD yang lain atau bagian lain dari Rumah Sakit?
Menurut ketentuan EMTALA, pasien dapat melakukan triase di unit perawatan yang setara. Hal ini berarti bahwa klinik atau area jalur cepat yang terkait dengan rumah sakit diperbolehkan melakukan triase.
Bagaimana cara meningkatkan kepuasan pasien lewat proses triase?
Perawat dapat meningkatkan tingkat kepuasan pasien lewat proses triase dengan beberapa cara berikut :
1. Memberikan penjelasan yang jelas: Saat melakukan triase, perawat harus memberikan penjelasan yang jelas dan mudah dipahami mengenai proses yang sedang dilakukan, apa yang akan dilakukan selanjutnya, dan perkiraan waktu menunggu.
2. Membuat pasien merasa nyaman: Perawat dapat membantu pasien merasa lebih nyaman dengan cara menawarkan tempat duduk yang nyaman dan memberikan pelayanan dengan ramah dan sopan.
3. Mendengarkan dengan baik: Perawat harus mendengarkan keluhan pasien dengan seksama, meminta informasi yang diperlukan dengan sopan dan memberikan waktu yang cukup untuk pasien menyampaikan keluhan mereka.
4. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami: Perawat harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien untuk menjelaskan kondisi mereka dan proses triase.
5. Memberikan informasi yang memadai: Perawat harus memberikan informasi yang memadai mengenai kondisi pasien dan tindakan medis yang akan dilakukan selanjutnya, serta menanyakan apakah pasien memiliki pertanyaan atau kekhawatiran.
6. Menjaga privasi pasien: Perawat harus menjaga privasi pasien selama proses triase, seperti memperkenalkan diri, menanyakan nama pasien dengan benar, dan menjaga informasi medis pasien kerahasiaannya.
Apa perbedaan sistem triase di IGD pada situasi normal dan dalam kondisi bencana?
Sistem triase di IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan dalam kondisi bencana memiliki perbedaan karena masing-masing memerlukan pendekatan yang berbeda. Beberapa perbedaan tersebut antara lain:
1. Jumlah pasien: Pada kondisi bencana, jumlah pasien yang membutuhkan triase bisa sangat banyak dan melebihi kapasitas layanan kesehatan yang tersedia. Sementara itu, di IGD, jumlah pasien bisa bervariasi dan tidak selalu dalam jumlah besar.
2. Sumber daya: Di IGD, sumber daya kesehatan seperti tenaga medis, obat-obatan, dan peralatan medis tersedia secara memadai. Namun, pada kondisi bencana, sumber daya kesehatan bisa terbatas atau bahkan tidak tersedia sama sekali.
3. Tujuan triase: Di IGD, tujuan triase adalah untuk menentukan tingkat kegawatdaruratan pasien dan menentukan prioritas tindakan medis yang harus dilakukan. Sementara itu, pada kondisi bencana, tujuan triase adalah untuk menentukan mana pasien yang membutuhkan tindakan medis segera, mana yang dapat ditunda, dan mana yang tidak dapat ditolong.
4. Waktu: Di IGD, waktu yang tersedia untuk melakukan triase bisa bervariasi tergantung pada tingkat kegawatdaruratan pasien. Namun, pada kondisi bencana, waktu yang tersedia bisa sangat terbatas dan harus dilakukan dengan cepat dan efisien.
Dalam kondisi bencana, triase biasanya dilakukan di lapangan dan dilakukan oleh tim medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa sumber daya kesehatan yang tersedia digunakan secara efektif dan efisien untuk menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin. Oleh karena itu, sistem triase dalam kondisi bencana cenderung lebih sederhana dan hanya fokus pada prioritas utama.
Bagaimana cara menghadapi pasien yang datang ke IGD dengan alasan yang tidak jelas?
Dalam hal ini, perawat bisa mengajukan beberapa pertanyaan berikut untuk memahami kondisi pasien:
- Alasan datang ke IGD hari ini?
- Apakah ada perubahan kondisi dibandingkan sebelumnya?
- Apakah ada rasa sakit yang semakin bertambah?
- Apakah ada perubahan atau peristiwa yang terjadi sebelum datang ke IGD?
Jika memungkinkan, sebaiknya lakukan anamnesis mandiri dengan pasien, tanpa kehadiran keluarga atau teman. Hal ini karena pasien mungkin merasa enggan untuk berbicara dengan terbuka di depan orang lain.
Namun, jika kamu masih tidak dapat memahami kondisi pasien dengan jelas, ulangi kata-kata pasien untuk menunjukkan bahwa kamu ingin memahami dan membantu pasien sebaik mungkin. Teknik komunikasi seperti ini dapat membantu pasien merasa lebih percaya dan mudah untuk memberikan informasi tambahan.
Nah, itu tadi 29 pertanyaan dan jawaban tentang segala seluk beluk proses triase. Semoga bisa membantumu lebih paham, ya!
Referensi :
Emergency Nurses Association. (2020). Emergency nursing pediatric course: Provider manual (5th ed.). Emergency Nurses Association.
Emergency Nurses Association. (2021). Emergency department staffing guidelines. Emergency Nurses Association.
Emergency Nurses Association. (2021). Guidelines for Emergency Department Triage (4th ed.). ENA.
Travers, D. A. (2002). Triage: How long does it take? How long should it take? Emergency Medicine Journal, 19(5), 456-459. doi: 10.1136/emj.19.5.456
Christ, M., Grossmann, F., Winter, D., Bingisser, R., & Platz, E. (2010). Modern triage in the emergency department. Deutsches Arzteblatt international, 107(50), 892–898. https://doi.org/10.3238/arztebl.2010.0892
Corkery N, Avsar P, Moore Z, O'Connor T, Nugent L, Patton D. What is the impact of team triage as an intervention on waiting times in an adult emergency department? - A systematic review. Int Emerg Nurs. 2021 Sep;58:101043. doi: 10.1016/j.ienj.2021.101043. Epub 2021 Aug 3. PMID: 34352705.
Khankeh, H. R., Khorasani-Zavareh, D., Azizi-Naghdloo, F., Hoseini, M. A., & Rahgozar, M. (2013). Triage effect on wait time of receiving treatment services and patients satisfaction in the emergency department: Example from Iran. Iranian journal of nursing and midwifery research, 18(1), 79–83.
Grossman, V. G. (2021). Quick reference to triage (Revised 2nd ed.). Sigma Theta Tau.
Joint Commission. (2008). Triage assessment and treatment in emergency departments and clinics. Joint Commission Resources.
Keddington, R. K. (1998). A triage vital sign policy for a children's Hospital Emergency Department. Journal of Emergency Nursing, 24(2), 189–192. https://doi.org/10.1016/s0099-1767(98)90030-7
Pollock, L., Anderson, S. T., & Kampmann, B. (2013). Paediatric emergency care in resource-limited settings. The Lancet, 381(9875), 1357. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(13)60879-x
Lerner, E. B., Schwartz, R. B., Coule, P. L., Weinstein, E. S., Cone, D. C., Hunt, R. C., & Sasser, S. M. (2010). Mass casualty triage: An evaluation of the science and refinement of a national guideline. Disaster Medicine and Public Health Preparedness, 4(2), 110-118. doi: 10.1001/dmp.2010.16
Lowe, R. A., Bindman, A. B., Ulrich, S. K., Norman, G., & Scaletta, T. A. (2000). Refusing care to emergency department of patients: evaluation of published triage guidelines. Annals of Emergency Medicine, 35(4), 334-337. doi: 10.1016/s0196-0644(00)70026-8
Pines, J. M., Hilton, J. A., Weber, E. J., Alkemade, A. J., Al Shabanah, H., Anderson, P. D., ... & Schuur, J. D. (2014). International perspectives on emergency department crowding. Academic Emergency Medicine, 21(12), 1358-1370. doi: 10.1111/acem.12535
Schuur, J. D., & Venkatesh, A. K. (2012). The growing role of emergency departments in hospital admissions. New England Journal of Medicine, 367(5), 391-393. doi: 10.1056/NEJMp1204431
Triage Education and Research Network (TERN). (2017). National Triage Scale. Retrieved from https://www.acem.org.au/getattachment/5a5d5d56-4a4e-4d75-b4da-e769f099a1a7/National-Triage-Scale.aspx
Gilboy, N., Travers, D., & Wuerz, R. (1999). Re-evaluating triage in the new millennium: A comprehensive look at the need for standardization and quality. Journal of emergency nursing, 25(6), 468–473. https://doi.org/10.1016/s0099-1767(99)70007-3
Zachariasse, J. M., Seiger, N., Rood, P. P., Alves, C. F., Freitas, P., Smit, F. J., Roukema, G. R., & Moll, H. A. (2017). Validity of the Manchester Triage System in emergency care: A prospective observational study. PloS one, 12(2), e0170811. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0170811
Cicolo, E. A., Nishi, F. A., Peres, H. H. C., & Cruz, D. A. L. M. D. (2020). Effectiveness of the Manchester Triage System on time to treatment in the emergency department: a systematic review. JBI evidence synthesis, 18(1), 56–73. https://doi.org/10.11124/JBISRIR-2017-003825
Henning, B., Lydersen, S., & Døllner, H. (2016). A reliability study of the rapid emergency triage and treatment system for children. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 24(1). https://doi.org/10.1186/s13049-016-0207-6
Gravel, J., Gouin, S., Goldman, R. D., Osmond, M. H., Fitzpatrick, E., Boutis, K., Guimont, C., Joubert, G., Millar, K., Curtis, S., Sinclair, D., & Amre, D. (2012). The Canadian Triage and Acuity Scale for children: a prospective multicenter evaluation. Annals of emergency medicine, 60(1), 71–7.e3. https://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2011.12.004.
Djalali, A., Castren, M., Khankeh, H., Gryth, D., Radestad, M., Ohlen, G., & Kurland, L. (2011). Hospital Disaster Preparedness as Measured by Functional Capacity: A Comparative Analysis among 18 Countries. Prehospital and Disaster Medicine, 26(6), 388-394.
Wuerz, R., Travers, D., Gilboy, N., Eitel, D., Rosenau, A., Yazhari, R., & Yarbrough, B. (2001). Implementation and Refinement of the Emergency Severity Index. Academic Emergency Medicine, 8(2), 170-176.
FitzGerald, G., Jelinek, G. A., Scott, D., & Gerdtz, M. F. (2000). Emergency Department Triage Revisited. Emergency Medicine Journal, 17(2), 86-91.
Steiner, D., Renetseder, F., Kutz, A., Haubitz, S., Faessler, L., Anderson, J. B., Laukemann, S., Rast, A. C., Felder, S., Conca, A., Reutlinger, B., Batschwaroff, M., Tobias, P., Buergi, U., Mueller, B., & Schuetz, P. (2016). Performance of the Manchester triage system in adult medical emergency patients: A prospective cohort study. The Journal of Emergency Medicine, 50(4), 678–689. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2015.09.008
Farrokhnia, N., Göransson, K. E., & Nilsson, H. (2006). Swedish Emergency Department Triage and Streaming System--Validity and Reliability. Journal of Advanced Nursing, 57(2), 190-199.
Massarutti, C., Trincado, O., Ruiz, M., & Martin, M. (2014). Emergency Triage System in a Tertiary Hospital: Analysis of Concordance and Effectiveness. International Emergency Nursing, 22(1), 13-18.
Fauzi, N. (2019, August 9). Triase IGD : 29+ tanya jawab Mengenai Triase Igd Yang Harus Diketahui Perawat. Nerslicious. Retrieved April 28, 2023, from https://www.nerslicious.com/panduan-triase-igd/