Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan dan yang paling banyak dikeluhkan (American Medical Association, 2013).
Sedang S. Tetty dalam buku Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri (2015) menjelaskan bahwa nyeri adalah kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala maupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya.
Nah, jenis nyeri sendiri ada dua (Swift, 2015), yakni :
1. Nyeri Akut
Ini adalah nyeri yang muncul mendadak, disebabkan oleh proses patologis, seperti insisi atau keseleo (sprain). Tidak ada kerusakan saraf di sini, dan biasanya sembuh dengan sendirinya.
2. Nyeri Kronis
Nyerinya akan dirasakan oleh pasien selama tiga bulan. Ini adalah indikasi adanya masalah kesehatan yang serius dan memerlukan penanganan segera.
Tujuan pengkajian nyeri sendiri ada tiga yakni :
1. Mendapatkan dan mendeskripsikan nyeri untuk menegakkan diagnosa;
2. Memahami penyebab nyeri untuk menentukan intervensi yang paling tepat;
3. Memonitor nyeri untuk menentukan apakah nyeri meningkat atau menurun
Perawat wajib tahu bahwa pengkajian nyeri yang akurat penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang efektif. Karena dalam praktik keperawatan, sering ditemukan masalah yang berkaitan dengan nyeri. Seperti nyeri setelah operasi, nyeri pada gastritis, nyeri pada anggota tubuh karena aktivitas yang berlebih, atau bekerja tidak sesuai dengan prinsip ergonomi.
Terlebih pasien pun kerap menyembunyikan nyeri yang mereka alami setiap hari. Sehingga perawat perlu lebih jeli melihat tanda-tandanya.
Ada 8 metode pengkajian nyeri yang biasa digunakan, berikut ini penjelasan singkatnya.
1. Mnemonik PQRST
Ini yang paling populer dan sudah diajarkan kepada perawat sejak masih menempuh pendidikan.
- Palliative (Penyebab) : Apa penyebabnya? Apa ada aktivitas yang membuatnya memburuk atau membaik? Apa yang dilakukan pasien saat nyeri muncul?
- Quality (Kualitas) : Seperti apa rasa nyeri tersebut bagi pasien? (Sensasi terbakar, tertusuk, berdenyut, teremas, atau yang lainnya)
- Radiates (Penyebaran) : Apa rasa nyeri ini menyebar? Atau justru cuma berpusat di satu titik saja?
- Severity (Keparahan) : Seberapa besar nyeri yang dirasakan? Apakah langsung memengaruhi aktivitas sehari-hari?
- Time (Waktu) : Sejak kapan nyeri muncul? Berapa lama? Apa langsung datang tiba-tiba atau justru perlahan?
2. Mnemonik SOCRATES
Dari singkatan, SOCRATES --yang mengingatkan pada nama seorang filsuf asal Yunani-- jelas lebih panjang dari PQRST. Tapi justru mnemonik ini jauh lebih detail.
- Site : Di mana muncul? Apa lokasinya?
- Onsite : Kapan terasa? Apakah mendakdak atau bertahap?
- Character : Bisa jelaskan rasanya? Apa seperti tersayat, terbakar, tertusuk atau tertindih benda berat?
- Radiation : Apa menyebar ke bagian tubuh lainnya?
- Associations : Bisa jelaskan tanda serta gejala lain yang berhubungan dengan rasa nyeri? (Contoh : luka bakar, kulit kemerahan, rasa pusing, dll.)
- Time Course : Apa ada pola tertentu?
- Exacerbating/Relieving Factors : Nyerinya bisa makin parah atau berkurang dengan apa?
- Severity : Seberapa parah rasanya?
Metode SOCRATES sendiri bisa dikombinasikan dengan skala nyeri numerikal (NRS) untuk mengukur nyeri.
3. Numerical Rating Scale (NRS)
(Sumber : Healthline)
Sama dengan dua metode sebelumnya, NRS juga butuh penjelasan langsung dari pasien. Cara penggunaannya adalah :
- Minta pasien mendeskripsikan nyeri yang dialami (0 = tak ada nyeri terasa, 10 = paling parah).
- Minta pasien mendeskripsikan nyeri dalam tiga kondisi : saat pengkajian dilakukan; saat nyeri mereda, dan saat nyeri paling parah.
- Buat rata-rata skala nyeri dari ketiga deksripsi pasien, jumlah semua nilai dibagi 3.
- Hasil pembagian adalah skala nyeri pasien dalam 24 jam terakhir.
Nah, berikut ini cara menghitungnya melalui contoh kasus :
1. Seorang pasien laki-laki sedang jalani rawat inap. Saat diminta mendeskripsikan nyerinya pada pemeriksaan, angkanya berada di angka 5.
2. Saat ditanya tentang nyeri paling ringan, ia menyebut angka 2. Ia juga menyebut angka 7 untuk menjelaskan saat nyeri terparah.
3. Cara menghitungnya : 2+5+7/3, 14/3 = 4,6. Jadi, rata-rata skala nyerinya selama 24 jam terakhir adalah 4,6.
Meski sering digunakan, tapi nyatanya aplikasi dilapangan ternyata banyak yang salah.
NRS ini digunakan tidak hanya untuk mengukur tingkat nyeri satu waktu saja, tetapi 3 waktu sekaligus dalam 1 kali pengkajian).
4. Visual Analog Scale (VAS)
(Sumber : Greatbrook.com)
Di metode ini, pasien diminta untuk menandai pada garis terkait nyeri yang mereka rasakan saat itu. Yang diukur adalah karakteristik atau sikap yang diyakini dapat menjangkau seluruh kontinum nilai dari tidak bisa diukur secara langsung dengan mudah.
Oh iya, skala nyeri visual dengan emoji juga cukup populer digunakan adalah emoji (mewakili wajah saat nyeri) yang disertai skala angka.
5. Defense and Veterans Pain Rating Scale (DVPRS)
(Sumber : Disables-World.com)
Metode DVPRS menggunakan emoji dan beserta angka dibawahnya lengkap dengan keterangan setiap angka tersebut.
DVPRS sendiri lebih sering digunakan untuk pasien dewasa. Pada anak-anak (pediatrik), metode Wong-Baker FACES® Scale jadi yang paling sering digunakan.
6. Wong-Baker FACES® Scale
(Sumber : Wikimedia Commons)
Wong-Baker FACES® dibuat oleh Donna Wong dan Connie Baker pada tahun 1983. Tujuan mereka yakni membantu anak-anak berkomunikasi tentang rasa nyerinya secara efektif.
Meski lebih populer untuk anak-anak, tapi Wong-Baker FACES Scale ternyata bisa digunakan untuk pasien dewasa.
7. COMFORT Behavior Scale
Nah, ini adalah suatu standar format pengkajian nyeri untuk mengukur tingkat distress psikologis pada pasien kritis anak-anak dibawah usia 18 tahun dan dewasa yang menggunakan sedasi dan terpasang ventilator.
Tanda-tanda perilaku :
1. Verbalisasi (menangis);
2. Agitasi;
3. Ekspresi wajah meringis;
4. Posisi (menjaga daerah nyeri, meringkuk, memegang dengan erat bagian yang nyeri).
Tanda-tanda fisiologis :
1. Peningkatan frekuensi napas;
2. Peningkatan denyut jantung/nadi;
3. Peningkatan tekanan darah;
4. Pucat (pallor);
5. Berkeringat;
6. Mual;
7. Muntah.
(Sumber : RCNi)
Agar kamu bisa mendapatkan data untuk mengisi tabel seperti di atas, yang harus kamu lakukan adalah :
- Lakukan proses anamnesa adanya mual dan muntah;
- Menginspeksi ekspresi wajah, pucat, adanya keringat, perangai menjurus agitasi (perlawanan), serta posisi pasien; ditambah
- Mengukur tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi napas.
8. Adult Non-Verbal Pain Scale (NVPS)
Metode terakhir ini lebih sering digunakan kepada pasien dewasa yang menggunakan ventilator. NVPS ini dikaji tanpa adanya jawaban dari pasien alias bersifat subyektif yang murni berasal dari jawaban pemeriksa.
Kategori | 0 | 1 | 2 |
Wajah | Tidak ada ekspresi atau senyum tertentu. | Sesekali meringis, menangis, cemberut, mengeriputkan dahi. | Sering meringis, menangis, cemberut, mengeriputkan dahi. |
Aktivitas (pergerakan) | Berbaring dengan tenang, posisi pasien normal. | Terlihat bergerak dengan hati-hati. Mencari perhatian dengan gerakan pelan. | Gelisah, aktivitas berlebihan, dan/atau refleks menarik (withdrawal reflexs). |
Melindungi (guarding) | Berbaring dengan tenang, tidak ada posisi di mana tangan melindungi bagian tubuh tertentu. | Menjaga salah satu bagian tubuh, terlihat tegang. | Mengeraskan tubuh, tegang. |
Fisiologi (tanda-tanda vital | TTV dalam batas normal. | Perubahan pada salah satu : 1. TD sistol naik sebesar 20 mmHg dari level normal. 2. Denyut nadi naik 20 kali/menit dari level normal. | Perubahan pada salah satu : 1. TD sistol naik sebesar 30 mmHg dari level normal. 2. Denyut nadi naik 25 kali/menit dari level normal. |
Pernapasan (respiratory) | Batas frekuensi napas/SpO2 sesuai dengan ventilator. | Frekuensi napas naik 10 kali dari batas, atau SpO2 turun 5% tidak sinkron ringannya dengan ventilator. | Frekuensi napas naik 20 kali dari batas, atau SpO2 turun 10% tidak sinkron beratnya dengan ventilator. |
Nah, itu tadi 8 metode pengkajian nyeri yang paling sering digunakan. Mana yang menurutmu mudah dipakai?
Referensi :
Swift, Amelia (2015). The importance of assessing pain in adults. Nursing Times. Vol 111, Nomor 41. Hal. 12-17.
Tetty, S. (2015) Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.
Findyartini, Ardi, et. al. (2020) Buku Panduan Adaptasi Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan di Era Pandemi Covid-19. Bogor: Universitas Indonesia Publishing.
Muttaqin, Arif. (2018) Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba.
Gavrin J. R. (2006). The American Medical Association "Pain Management: the Online Series". Journal of pain & palliative care pharmacotherapy, 20(4), 71–77.
Bates, B. P., Bates, B. R., & Northway, D. I. (2002). PQRST: A mnemonic to communicate a change in condition. Journal of the American Medical Directors Association, 3(1), 23–25.
Gregory, J. (2019). Use of pain scales and observational pain assessment tools in hospital settings. Nursing Standard, 34(9), 70–74.
Haefeli, M., & Elfering, A. (2006). Pain assessment. European spine journal : official publication of the European Spine Society, the European Spinal Deformity Society, and the European Section of the Cervical Spine Research Society, 15 Suppl 1(Suppl 1), S17–S24.
Pathak, A., Sharma, S., & Jensen, M. P. (2018). The utility and validity of pain intensity rating scales for use in developing countries. PAIN Reports, 3(5).
Suprawoto, D. N., Nurhaeni, N., & Waluyanti, F. T. (2020). COMFORT Behavior Scale instrument: validity and reliability test for critically ill pediatric patients in Indonesia. Pediatric reports, 12(Suppl 1), 8690.
Drendel, A. L., Kelly, B. T., & Ali, S. (2011). Pain assessment for children. Pediatric Emergency Care, 27(8), 773–781.
Rulino, L. (2022, July 2). 8 alat pengkajian Nyeri Terpopuler Yang Mudah digunakan. perawat.org. Retrieved January 26, 2023, from https://perawat.org/8-alat-pengkajian-nyeri-terpopuler-yang-mudah-digunakan/