Pencarian

Penanganan Emboli Paru: Panduan Singkat dan Mendalam untuk Perawat

post-title

Kita akan mengupas secara mendalam tentang peran perawat dalam perawatan pasien penderita penyakit berat. Nah, kali ini yang dibahas adalah emboli paru. Alasannya, karena kondisi akut tersebut masih menjadi masalah serius di dunia saat ini dengan perkiraan angka kasus mencapai 10 juta per tahun.

Penjelasan Emboli Paru

Embolus paru, atau emboli paru, adalah kondisi di mana terjadi penyumbatan pembuluh darah paru-paru oleh suatu benda yang terlepas dan terbawa oleh aliran darah. Benda yang dapat menyebabkan emboli paru disebut embolus, yang biasanya berupa gumpalan darah atau bekuan yang terbentuk di tempat lain dalam tubuh dan kemudian terlepas.

Emboli paru dapat terjadi ketika embolus terbawa oleh aliran darah dan akhirnya mencapai pembuluh darah di paru-paru yang semakin kecil (arteri pulmonalis). Setelah mencapai pembuluh darah yang lebih kecil, embolus akan menyumbat aliran darah ke area tersebut, mengganggu sirkulasi normal dan pasokan oksigen ke paru-paru.

Penyebab Emboli Paru

Ada berbagai penyebab yang dapat menyebabkan perkembangan emboli paru, tapi semuanya dapat dikaitkan dengan Triad Virchow.

Triad Virchow menyatakan bahwa minimal ada salah satu dari tiga faktor yang harus ada agar bekuan darah terbentuk di dalam tubuh :

1. Stasis Darah

Terjadi ketika aliran darah melambat atau berhenti sepenuhnya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stasis darah meliputi imobilitas, rawat inap, pembuluh darah yang melebar, fibrilasi atrium (gangguan irama jantung), gagal jantung, dan usia lanjut (>65 tahun).

2. Cedera Endotel

Merujuk pada kerusakan pada sistem pembuluh darah (arteri dan vena). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan cedera endotel meliputi operasi baru (terutama bedah ortopedi), trauma, kemoterapi, penggunaan perangkat medis yang ditanamkan, peradangan, dan sepsis.

3. Keadaan Hiperkoagulasi

Merupakan kondisi yang meningkatkan kemungkinan terjadinya pembekuan darah. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan keadaan hiperkoagulasi meliputi keganasan (kanker), penggunaan estrogen (misalnya kontrasepsi hormonal), kehamilan, faktor genetik yang diwariskan (seperti mutasi Faktor V Leiden), penyakit hati yang parah, merokok, dan obesitas.

Semakin banyak faktor risiko yang dimiliki oleh seseorang, semakin tinggi risiko pembentukan bekuan darah. Meskipun demikian, sebagian kecil pasien dapat mengalami pembekuan darah meskipun tidak memiliki faktor risiko yang tercantum di atas.

Gejala Emboli Paru

Gejala emboli paru dapat bervariasi tergantung pada ukuran dan lokasi penyumbatan, serta tingkat keparahannya. Berikut adalah beberapa gejala yang mungkin terjadi pada emboli paru :

1. Sesak Napas

Ini adalah gejala yang umum terjadi pada emboli paru. Pasien mungkin merasa sulit bernapas atau tidak bisa mengambil napas dalam jumlah yang memadai. Sesak napas ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan dapat memburuk dengan aktivitas fisik.

2. Nyeri Dada

Nyeri dada yang tajam atau tertekan adalah gejala lain yang sering terkait dengan emboli paru. Nyeri ini mungkin terasa seperti tekanan atau berat di dada, dan dapat memburuk saat bernapas dalam, batuk, atau bersin. Nyeri dada juga bisa menjalar ke lengan, punggung, leher, atau rahang.

3. Batuk Darah

Pada beberapa kasus emboli paru, pasien dapat mengalami batuk darah. Batuk darah ini dapat berupa darah segar atau kental, dan bisa disertai dengan lendir berdarah. Kadang-kadang, batuk darah hanya sedikit dan sulit untuk dilihat.

4. Detak Jantung Cepat

Emboli paru dapat menyebabkan peningkatan detak jantung yang tidak normal. Pasien mungkin merasakan jantung berdebar-debar atau berdetak lebih cepat dari biasanya.

5. Pusing dan Kelelahan

Gejala lain yang dapat terjadi adalah pusing yang berhubungan dengan kurangnya oksigen dalam darah, serta kelelahan yang berlebihan. Pasien mungkin merasa lemas dan kehilangan energi dengan cepat.

6. Sianosis

Sianosis adalah kondisi ketika kulit atau membran mukosa mengalami pewarnaan biru atau keunguan. Pada emboli paru, sianosis dapat terjadi pada bibir, wajah, atau ekstremitas. Hal ini disebabkan oleh ketidakcukupan oksigen dalam darah.

7. Trombosis Vena

Mulai dairi eritema ekstremitas, edema ekstremitas dan nyeri ekstremitas.

Penting untuk diingat bahwa gejala emboli paru dapat bervariasi antara individu. Beberapa pasien mungkin hanya mengalami satu atau beberapa gejala di atas, sedangkan yang lain mungkin mengalami kombinasi gejala yang lebih parah.

Pemeriksaan Fisik Pasien Emboli Paru

Berikut adalah beberapa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan oleh tenaga medis untuk mengevaluasi kemungkinan adanya emboli paru pada seorang pasien :

1. Auskultasi Jantung

Tenaga medis akan mendengarkan suara jantung menggunakan stetoskop. Pada emboli paru, suara jantung dapat menunjukkan adanya ketidaknormalan seperti suara jantung yang cepat (takikardia) atau suara jantung yang tidak teratur (aritmia).

2. Auskultasi Paru

Tenaga medis akan mendengarkan suara pernapasan menggunakan stetoskop. Pada emboli paru, auskultasi paru dapat mengungkapkan adanya suara nafas yang tidak normal, seperti ronchi (bising nafas), wheezing (mengi), atau suara nafas yang lemah pada area paru tertentu.

3. Pemeriksaan Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah dilakukan untuk menilai kestabilan hemodinamik pasien. Emboli paru yang parah dapat menyebabkan penurunan tekanan darah (hipotensi).

4. Pemeriksaan Denyut Nadi

Tenaga medis akan memeriksa denyut nadi pasien untuk mengevaluasi kecepatan dan keberaturan denyut nadi. Emboli paru dapat menyebabkan peningkatan denyut nadi (takikardia).

5. Pemeriksaan Sianosis

Tenaga medis akan memeriksa kulit, bibir, dan membran mukosa pasien untuk tanda-tanda sianosis. Sianosis adalah kondisi ketika kulit atau membran mukosa mengalami pewarnaan biru atau keunguan akibat kurangnya oksigen dalam darah.

6. Pemeriksaan Pembengkakan Vena Leher

Pembengkakan vena leher (jugular venous distention) dapat terjadi pada beberapa kasus emboli paru yang parah. Tenaga medis akan memeriksa tanda-tanda pembengkakan vena leher yang dapat mengindikasikan gangguan hemodinamik.

Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti tes darah, tes pencitraan (seperti angiografi paru atau CT scan paru), dan elektrokardiogram (EKG) juga dapat dilakukan untuk membantu dalam diagnosis emboli paru. Penting untuk dicatat bahwa diagnosis emboli paru tidak hanya didasarkan pada pemeriksaan fisik saja, tetapi memerlukan evaluasi medis yang komprehensif termasuk riwayat medis dan hasil pemeriksaan tambahan.

Intervensi Keperawatan Pasien Emboli Paru

Berikut adalah beberapa intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk pasien dengan emboli paru :

1. Pemantauan Jantung

- Semua pasien dengan nyeri dada atau kesulitan bernapas (SOB) harus dipasang pada monitor jantung untuk mendeteksi kemungkinan aritmia dan memantau detak jantung.

- Pasien dengan emboli paru sering mengalami sinus takikardia yang tidak sepenuhnya pulih dengan pemberian cairan.

- Pasien dengan emboli paru dapat mengalami berbagai jenis aritmia, termasuk fibrilasi atrium, bradikardia, blokade rantai kanan (RBBB), PVC (premature ventricular contractions), VTACH (ventricular tachycardia)/VFIB (ventricular fibrillation).

2. STAT EKG

- Semua pasien dengan nyeri dada dan/atau SOB harus segera menjalani elektrokardiogram (EKG) dalam waktu 10 menit setelah kedatangan.

- Tujuan utamanya adalah untuk memeriksa adanya STEMI (infark miokard) atau iskemia. Tapi, emboli paru yang parah dapat menyebabkan tegangan kanan yang signifikan pada EKG.

- Meskipun hanya terjadi pada kurang dari 10% pasien, tanda-tanda tegangan jantung kanan pada EKG meliputi pola regangan jantung kanan dan S1Q3T3.

3. Dukungan Oksigen

- Jika pasien mengalami hipoksia atau kesulitan bernapas yang signifikan, berikan oksigen melalui nasal cannula (NC) dengan aliran 2-4 liter/menit. Jika oksigenasi masih tidak memadai dan tingkat oksigen dalam darah (SPO2) tidak mencapai 90%, gunakan masker non-rebreather.

- Dalam kasus yang lebih parah, mungkin diperlukan ventilasi non-invasif dengan BIPAP (bilevel positive airway pressure) atau intubasi.

4. Akses IV

- Pasang infus perifer dengan ukuran jarum 18-20G di daerah siku (AC), karena kemungkinan besar pasien akan menjalani computed tomography angiography (CTA) untuk mendeteksi emboli paru. Infus dengan lubang besar ini diperlukan untuk menyuntikkan kontras dengan tekanan tinggi.

- Saat mengambil sampel darah, pastikan menggunakan tabung pengambilan sampel berpenanda warna biru, karena selain melakukan pemeriksaan D-dimer, juga diperlukan pemeriksaan PT/INR (prothrombin time/international normalized ratio).

Mendiagnosis Emboli Paru

Untuk mendiagnosis emboli paru, pemeriksaan pencitraan paru-paru tingkat lanjut biasanya diperlukan, namun pemeriksaan laboratorium juga merupakan bagian penting dari evaluasi.

1. Kriteria Wells

Kriteria Wells digunakan sebagai alat klinis untuk menentukan risiko PE. Skor diberikan berdasarkan faktor-faktor berikut :

- Tanda-tanda pembekuan darah di dalam vena (3 poin)

- Kemungkinan adanya emboli paru sebagai diagnosis nomor satu (3 poin)

- Denyut jantung >100 bpm (1,5 poin)

- Imobilisasi selama 3 hari atau lebih (1,5 poin)

- Pembedahan dalam 4 minggu terakhir (1,5 poin)

- Riwayat PE atau trombosis vena sebelumnya (1,5 poin)

- Hemoptisis (1 poin)

- Keganasan dengan pengobatan dalam 6 bulan terakhir atau kondisi paliatif (1 poin)

Setelah skor dihitung, risiko pasien dapat digolongkan menjadi:

- Risiko rendah : 0-1 poin

- Risiko sedang : 2-6 poin

- Risiko tinggi : >6 poin

Skor 4 atau kurang dengan hasil D-dimer negatif dapat secara efektif mengesampingkan potensi emboli paru seorang pasien.

2. D-Dimer

D-Dimer adalah uji darah yang digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan adanya pembekuan darah di dalam tubuh.

D-Dimer adalah produk sampingan fibrin yang meningkat dalam darah ketika terjadi pembekuan.

Meskipun tes ini dapat membantu melihat apakah ada kemungkinan pembekuan darah, tapi tes D-Dimer tidak sangat spesifik. Hasil D-Dimer negatif (di bawah ambang batas) cukup baik untuk menyingkirkan kemungkinan adanya pembekuan darah. Meski begitu, hasil D-Dimer positif tidak selalu menunjukkan adanya pembekuan darah.

Peningkatan D-Dimer dapat terjadi akibat memar, cedera ringan, kehamilan, penyakit jantung, infeksi, dan kondisi lainnya.

Jika hasil D-Dimer di atas ambang batas (sekitar 230, namun dapat berbeda tergantung pada laboratorium), maka pemeriksaan CTA (computed tomography angiography) diperlukan untuk memastikan keberadaan PE.

Jika hasil D-Dimer di bawah ambang batas, kemungkinan emboli paru biasanya dapat dikesampingkan, namun hal ini berlaku terutama pada kasus dengan kecurigaan klinis rendah sampai sedang.

Pada pasien dengan risiko tinggi emboli paru, D-Dimer dapat melewatkan emboli paru dalam 15% kasus.

3. Pemeriksaan Laboratorium Lainnya

Troponin harus diperiksa pada pasien dengan nyeri dada dan/atau kesulitan bernapas. Troponin dapat sedikit meningkat pada kasus emboli paru atau meningkat secara signifikan jika emboli paru menyebabkan STEMI (infark miokard akut dengan elevasi segmen ST) atau NSTEMI (infark miokard non-ST-elevasi).

BNP (brain natriuretic peptide) dapat diperiksa jika terdapat gejala gagal jantung.

Fungsi ginjal harus diperiksa sebelum melakukan CTA untuk memastikan kemampuan ginjal dalam mengekskresikan zat kontras. GFR (glomerular filtration rate) >30 umumnya cukup untuk melakukan CTA.

Studi koagulasi dapat dilakukan pada pasien yang dirawat inap untuk memeriksa adanya mutasi genetik yang mempengaruhi pembentukan bekuan darah.

4. ABG (Arterial Blood Gas)

ABG dapat dilakukan jika pasien mengalami gangguan pernapasan yang signifikan atau mengalami perubahan status mental.

Pada kasus PE yang menyebabkan peningkatan tekanan, hasil ABG biasanya menunjukkan :

- PaO2 rendah (<80 mmHg)

- PCO2 rendah (<35 mmHg)

- pH alkalosis (>7,45)

- HCO3 mungkin rendah (<22 mEq)

5. CXR (Chest X-ray):

Rontgen dada (CXR) hampir selalu dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita PE, karena dapat menyingkirkan beberapa penyebab nyeri dada dan kesulitan bernapas lainnya seperti pneumotoraks atau pneumonia.

Namun, CXR tidak dapat mendeteksi secara langsung emboli paru. CXR mungkin menunjukkan tanda-tanda nonspesifik seperti atelektasis atau efusi, namun seringkali hasilnya normal.

Untuk melihat secara langsung adanya emboli paru, diperlukan CT angiografi paru (CTPA atau CTA).

6. CTA (Computed Tomography Angiography)

CTA adalah teknik pencitraan di mana pewarna radiopak disuntikkan ke dalam pembuluh darah pasien untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah selama CT scan. Teknik ini dapat diatur untuk melihat area jantung tertentu.

CTA paru dilakukan untuk memvisualisasikan arteri dan vena pulmonal, sehingga radiolog dapat langsung melihat emboli paru.

Jika GFR pasien <30, pewarna kontras biasanya dihindari. Namun, keputusan ini dapat bervariasi tergantung pada fasilitas.

Jika pasien tidak dapat menerima pewarna kontras (GFR <30 atau ada reaksi anafilaksis), tes alternatif yang dapat dilakukan adalah pemindaian V/Q (ventilation/perfusion scan).

7. Pemindaian V/Q (Ventilation/Perfusion Scan):

Pemindaian V/Q adalah tes nuklir di mana radioisotop digunakan bersamaan dengan sinar-X untuk mengevaluasi kesesuaian antara ventilasi dan perfusi paru-paru. Meskipun tidak seakurat CTA, tes ini memberikan kemungkinan adanya emboli paru dengan tingkat kecurigaan "sangat rendah."

Pengobatan Pasien Emboli Paru

Pengobatan pasien dengan emboli paru yang stabil secara hemodinamik meliputi masuk ke rumah sakit, pemberian antikoagulan parenteral, dan kemudian beralih ke antikoagulan oral.

Antikoagulan parenteral, seperti heparin tak terpecah IV atau Lovenox SQ, digunakan dalam pengobatan awal PE. Heparin IV diberikan sebagai tetesan dan dosisnya dapat dititrasi berdasarkan PTT. Lovenox SQ adalah alternatifnya. Peran antikoagulan adalah mencegah pembentukan bekuan lebih lanjut dan menstabilkan bekuan yang ada agar tidak bergerak.

Setelah pasien stabil, antikoagulan oral seperti Eliquis atau coumadin dapat digunakan. Durasi penggunaan antikoagulan biasanya minimal 3 bulan atau lebih, tergantung pada ukuran dan faktor risiko trombus.

Filter vena cava inferior (IVC) dapat dipertimbangkan untuk menangkap bekuan sebelum memasuki atrium kanan pada pasien yang tidak dapat menggunakan antikoagulan atau memiliki emboli paru berulang.

Terapi trombolitik dapat diberikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik untuk melarutkan bekuan darah, tetapi ada kontraindikasi dan risiko perdarahan yang perlu diperhatikan.

Jika terapi trombolitik tidak berhasil atau tidak dapat digunakan, embolektomi dapat dilakukan untuk menghapus atau memecah bekuan. Prosedur ini meliputi trombolisis dengan bantuan USG, embolektomi reolitik, embolektomi rotasi, embolektomi hisap, fragmentasi trombus, dan embolektomi bedah.

Namun, yang harus diingat, tidak semua fasilitas kesehatan memiliki kemampuan untuk melakukan prosedur ini. Tapi, sebagian besar harus dapat menyediakan terapi trombolitik.

Pemantauan Pasien Emboli Paru

Pemantauan pasien meliputi pemantauan tanda-tanda vital dan memberikan dukungan sebanyak mungkin.

1. Dukungan Oksigen :

Pantau status oksigen pasien melalui pernapasan dan oksimetri nadi. Pasien yang stabil mungkin hanya memerlukan pemantauan vital setiap 4 jam. Jika kadar oksigen rendah atau ada gangguan pernapasan yang signifikan, tingkatkan suplai oksigen.

2. Dukungan Tekanan Darah

Pantau tekanan darah pasien sesuai dengan protokol departemen. Jika tekanan darah tinggi, berikan analgesik dan antihipertensi. Jika tekanan darah rendah, berikan cairan melalui bolus dan perhatikan pernapasan dan jantung. Pada kasus yang parah, mungkin diperlukan vasopresor.

3. Pemantauan Jantung

Pasien ini harus dipasang telemetri. Pantau ritme jantung mereka sesuai dengan protokol departemen dan laporkan setiap perubahan kepada dokter.

4 Pendarahan/Terjatuh

Pasien sering diberikan antikoagulan seperti yang disebutkan sebelumnya. Pastikan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan pasien jatuh dan pantau kemungkinan perdarahan.

5. Deteriorasi Klinis

Jika kondisi pasien mulai memburuk, segera beri tahu dokter atau APP (Advanced Practice Provider) dan/atau hubungi RRT (Rapid Response Team). Perlu diingat bahwa PE memberikan tekanan pada jantung sehingga pasien dapat mengalami edema paru akut (flash pulmonary edema). Pasien yang sebelumnya memiliki penyakit arteri koroner (CAD) mungkin mengalami serangan jantung.

Pemantauan terus-menerus dan komunikasi yang efektif dengan tim medis penting dalam merawat pasien dengan emboli paru.

Alasan Pentingnya Perawat untuk Tahu Penanganan Pasien dengan Emboli Paru

Perawat memiliki peran penting dalam penanganan pasien dengan emboli paru karena mereka sering berinteraksi langsung dengan pasien dan memberikan perawatan langsung. Berikut adalah beberapa alasan mengapa perawat perlu memiliki pengetahuan tentang penanganan pasien dengan emboli paru :

1. Pemantauan dan Pengkajian

Perawat bertanggung jawab untuk memantau tanda-tanda vital pasien secara teratur, termasuk detak jantung, tekanan darah, dan tingkat oksigen. Mereka juga melakukan pengkajian fisik dan mengamati gejala dan tanda-tanda emboli paru. Pengetahuan yang baik tentang emboli paru memungkinkan perawat untuk mengenali dan merespons dengan cepat perubahan dalam kondisi pasien.

2. Pemberian Perawatan Medis

Perawat sering memberikan perawatan medis langsung kepada pasien dengan emboli paru, seperti pemberian oksigen, obat-obatan antikoagulan, dan pengelolaan nyeri. Mereka harus memahami indikasi, dosis, dan efek samping dari obat-obatan ini serta memastikan pasien mematuhi pengobatan yang ditentukan.

3. Pendidikan Pasien dan Keluarga

Perawat berperan dalam memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang emboli paru, pengobatan yang direkomendasikan, dan tanda-tanda peringatan yang harus diperhatikan. Mereka juga memberikan instruksi tentang tindakan pencegahan, seperti pentingnya bergerak aktif, menghindari gaya hidup yang berisiko, dan mengikuti pengobatan secara teratur.

4. Pencegahan Komplikasi

Perawat berperan dalam pencegahan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan emboli paru. Mereka memastikan pasien terhindar dari jatuh atau cedera, melakukan mobilisasi dini, dan memonitor adanya perdarahan atau tanda-tanda trombosis vena dalam (DVT) yang baru.

5. Kolaborasi Tim

Perawat bekerja sama dengan tim perawatan kesehatan lainnya, termasuk dokter, radiolog, terapis fisik, dan lain-lain, dalam mengelola pasien dengan emboli paru. Mereka berpartisipasi dalam tim perawatan untuk mengoordinasikan intervensi dan memastikan perawatan yang terkoordinasi dan holistik.

Dengan pengetahuan yang memadai tentang emboli paru, perawat dapat memberikan perawatan yang tepat waktu, komprehensif, dan aman kepada pasien. Mereka juga berperan penting dalam memantau respons terhadap perawatan dan memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga mereka selama proses penyembuhan.

Nah, itu tadi hal-hal yang harus diperhatikan perawat saat menghadapi pasien penderita emboli paru. Semoga bermanfaat, ya!


Referensi :

Kelly, W. (2023, March 23). Pulmonary embolism: Nurse’s reference guide. Health And Willness. https://healthandwillness.org/pulmonary-embolism/ 

Kenali Emboli Paru Lebih Dini: Penyakit yang Dapat Dicegah. Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. (n.d.). https://pjnhk.go.id/artikel/kenali-emboli-paru-lebih-dini-penyakit-yang-dapat-dcegah 

Turetz, M., Sideris, A. T., Friedman, O. A., Triphathi, N., & Horowitz, J. M. (2018). Epidemiology, Pathophysiology, and Natural History of Pulmonary Embolism. Seminars in interventional radiology, 35(2), 92–98. https://doi.org/10.1055/s-0038-1642036

Morrone, D., & Morrone, V. (2018). Acute Pulmonary Embolism: Focus on the Clinical Picture. Korean circulation journal, 48(5), 365–381. https://doi.org/10.4070/kcj.2017.0314

Ružičić, D. P., Dzudovic, B., Matijasevic, J., Benic, M., Salinger, S., Kos, L., Kovacevic-Preradovic, T., Mitevska, I., Neskovic, A., Bozovic, B., Bulatovic, N., Miloradovic, V., Djuric, I., & Obradovic, S. (2023). Signs and symptoms of acute pulmonary embolism and their predictive value for all-cause hospital death in respect of severity of the disease, age, sex and body mass index: Retrospective analysis of the regional PE Registry (REPER). BMJ Open Respiratory Research, 10(1). https://doi.org/10.1136/bmjresp-2022-001559 

Ji, Q., Wang, M., Su, C., Yang, Q., Feng, L., Zhao, L., Fang, S., Zhao, F., & Li, W. (2017). Clinical symptoms and related risk factors in pulmonary embolism patients and cluster analysis based on these symptoms. Scientific Reports, 7(1). https://doi.org/10.1038/s41598-017-14888-7 

Piazza, G., & Goldhaber, S. Z. (2006). Acute pulmonary embolism. Circulation, 114(2). https://doi.org/10.1161/circulationaha.106.620872 

Ribeiro, A., Lindmarker, P., Johnsson, H., Juhlin-Dannfelt, A., & Jorfeldt, L. (1999). Pulmonary embolism. Circulation, 99(10), 1325–1330. https://doi.org/10.1161/01.cir.99.10.1325 

Miniati, M., Cenci, C., Monti, S., & Poli, D. (2012). Clinical presentation of Acute Pulmonary Embolism: Survey of 800 cases. PLoS ONE, 7(2). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0030891 

Howard, L. (2019). Acute pulmonary embolism. Clinical Medicine, 19(3), 243–247. https://doi.org/10.7861/clinmedicine.19-3-247 

Morici, B. (2014). Diagnosis and management of Acute Pulmonary embolism. Journal of the American Academy of Physician Assistants, 27(4), 18–22. https://doi.org/10.1097/01.jaa.0000444729.09046.09 

Walter, K. (2023). What is pulmonary embolism? JAMA, 329(1), 104. https://doi.org/10.1001/jama.2022.17782 

Freund, Y., Cohen-Aubart, F., & Bloom, B. (2022). Acute pulmonary embolism. JAMA, 328(13), 1336. https://doi.org/10.1001/jama.2022.16815 

Lv, Q., Liu, Y., Zhang, N., Qi, H., Li, X., Zhang, R., Sun, B., & Zhu, Y. (2022). Construction of Pulmonary Embolism Prediction, Early Warning, and Precontrol MDT Collaborative Nursing Model Based on the Smith Model. Computational and mathematical methods in medicine, 2022, 2138826. https://doi.org/10.1155/2022/2138826

Clark, A. C., Xue, J., & Sharma, A. (2019). Pulmonary embolism: Epidemiology, patient presentation, diagnosis, and treatment. Journal of Radiology Nursing, 38(2), 112–118. https://doi.org/10.1016/j.jradnu.2019.01.006 

Flanders, S. A., & Zwerneman, K. (2014). Pulmonary embolism. Nursing Critical Care, 9(6), 14–20. https://doi.org/10.1097/01.ccn.0000455853.39879.c0 

Rivera-Lebron, B., McDaniel, M., Ahrar, K., Alrifai, A., Dudzinski, D. M., Fanola, C., Blais, D., Janicke, D., Melamed, R., Mohrien, K., Rozycki, E., Ross, C. B., Klein, A. J., Rali, P., Teman, N. R., Yarboro, L., Ichinose, E., Sharma, A. M., Bartos, J. A., Elder, M., … PERT Consortium (2019). Diagnosis, Treatment and Follow Up of Acute Pulmonary Embolism: Consensus Practice from the PERT Consortium. Clinical and applied thrombosis/hemostasis : official journal of the International Academy of Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis, 25, 1076029619853037. https://doi.org/10.1177/1076029619853037

Dalen, J. E., & Alpert, J. S. (2020). Diagnosis and treatment of pulmonary embolism: What have we learned in the last 50 years? The American Journal of Medicine, 133(4), 404–406. https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2019.08.049 

Konstantinides, S. V., & Torbicki, A. (2014). Management of pulmonary embolism: Recent evidence and the new European Guidelines. European Respiratory Journal, 44(6), 1385–1390. https://doi.org/10.1183/09031936.00180414

Konstantinides, S. V., Meyer, G., Becattini, C., Bueno, H., Geersing, G. J., Harjola, V. P., Huisman, M. V., Humbert, M., Jennings, C. S., Jiménez, D., Kucher, N., Lang, I. M., Lankeit, M., Lorusso, R., Mazzolai, L., Meneveau, N., Ní Áinle, F., Prandoni, P., Pruszczyk, P., Righini, M., … ESC Scientific Document Group (2020). 2019 ESC Guidelines for the diagnosis and management of acute pulmonary embolism developed in collaboration with the European Respiratory Society (ERS). European heart journal, 41(4), 543–603. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehz405

Twitter