Pernah dengar atau menangani langsung kejadian toksisitas obat pada pasien? Nah, pengetahuan tentang toksisitas obat sangat penting bagi perawat. Sebagai bagian dari tim perawatan pasien, perawat berperan penting dalam pemantauan dan penanganan efek samping obat serta pengelolaan kasus toksisitas obat.
Berikut ini penjelasan lengkap tentang toksisitas obat.
Definisi Toksisitas Obat
Beberapa istilah digunakan untuk menjelaskan reaksi yang merugikan dari suatu obat, termasuk reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), efek samping obat (ESO), dan toksisitas obat.
Toksisitas obat merujuk pada sejauh mana kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu obat terhadap organisme. Efek toksik dari obat ini tergantung pada dosis yang diberikan dan dapat memengaruhi sistem tubuh secara keseluruhan.
Istilah ROTD digunakan untuk menggambarkan reaksi yang muncul ketika obat digunakan dalam rentang dosis terapeutik yang direkomendasikan. Di sisi lain, toksisitas obat digunakan untuk menggambarkan penggunaan obat di luar rentang dosis terapeutik. Risiko toksisitas obat juga dapat terjadi pada penggunaan dosis normal, seperti dalam kasus interaksi obat yang menyebabkan peningkatan kadar obat.
Efek samping obat sering digunakan sebagai istilah yang digunakan secara bergantian dengan ROTD, meskipun sebenarnya istilah tersebut seharusnya lebih merujuk pada efek yang tidak diinginkan dan tidak berkaitan dengan mekanisme kerja obat.
Faktor yang Memengaruhi Toksisitas Obat
1. Usia
Pasien yang termasuk dalam kelompok bayi, anak-anak, dan usia lanjut (di atas 65 tahun) memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami toksisitas obat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam profil farmakokinetik atau aktivitas enzim metabolik obat di dalam tubuh.
Selain itu, organ pada pasien bayi atau anak-anak masih dalam tahap perkembangan dan belum berfungsi secara optimal, sedangkan pada pasien usia lanjut terjadi penurunan fungsi organ tubuh.
2. Kondisi atau penyakit penyerta
Pasien yang memiliki disfungsi hati atau ginjal, sistem kekebalan tubuh yang terganggu, atau sedang hamil memiliki risiko lebih tinggi terkena toksisitas obat. Kondisi ini dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memetabolisme atau menghilangkan obat secara efisien.
3. Dosis obat yang diberikan
Pemberian dosis obat melebihi rentang dosis terapeutik yang direkomendasikan dapat menyebabkan toksisitas obat. Sebagai contoh, jika konsentrasi Gentamicin dalam darah melebihi 12 mcg/ml, hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan pendengaran (ototoksisitas) dan ginjal (nefrotoksisitas).
4. Interaksi dengan obat lain
Penggunaan obat lain atau obat herbal secara bersamaan dapat menyebabkan interaksi dengan obat yang sedang digunakan. Interaksi ini dapat terjadi melalui mekanisme farmakokinetik (perubahan kadar obat dalam tubuh) maupun farmakodinamik (interaksi pada mekanisme kerja obat). Interaksi ini dapat mempengaruhi kadar obat dalam tubuh dan berpotensi menyebabkan toksisitas obat.
Manajemen Toksisitas Obat
Penanganan toksisitas obat bertujuan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh obat, dan dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Meminimalkan absorpsi obat
Jika terjadi overdosis atau paparan obat yang berpotensi merugikan, langkah awal yang dapat dilakukan adalah mencegah atau meminimalkan penyerapan obat ke dalam tubuh. Tapi, metode ini tidak disarankan untuk obat-obatan yang bersifat korosif, seperti asam sulfat, atau distilat petroleum. Dalam kasus tersebut, melakukan pengeluaran obat melalui muntah tidak dianjurkan.
2. Penggunaan larutan arang aktif (activated charcoal)
Dalam situasi toksisitas obat tertentu, penggunaan larutan arang aktif dapat membantu mengikat obat-obatan tertentu dan mengurangi penyerapan mereka di saluran pencernaan. Arang aktif bertindak sebagai adsorben, yaitu mengikat dan menyerap racun atau zat beracun dalam saluran pencernaan sehingga mengurangi ketersediaannya untuk diserap oleh tubuh.
a. Rekomendasi penggunaan activated charcoal
Ya | Tidak |
Waktu yang dibutuhkan setelah menelan obat sekitar 1 jam, tetapi untuk obat dengan bentuk sediaan yang dilepaskan secara bertahap atau obat antimuskarinik yang memperlambat pengosongan lambung, waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 4 jam. | - Pasien mengantuk atau pingsan (risiko aspirasi) - Penurunan motilitas gastrointestinal (risiko obstruksi) - Keracunan dalam jumlah besar (sekitar 10 g activated charcoal diperlukan untuk setiap 1 g racun) |
Dosis yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :
- Untuk usia di atas 12 tahun dan dewasa: 50 gram.
- Untuk usia di bawah 12 tahun: 1 gram per kilogram berat badan (maksimum 50 gram).
Dosis ini dapat diulang setiap 4 jam selama 24-36 jam.
Pengulangan dosis ini dipercaya bermanfaat dalam kasus keracunan yang berpotensi mengancam nyawa akibat obat-obatan seperti Carbamazepine, Dapsone, Phenobarbital, Quinine, Theophylline, Amitriptyline, Digoxin, Amiodarone, Valproic acid, Duloxetine, dan Verapamil.
Jika pasien mengalami muntah, disarankan untuk diberikan terapi antiemetik (obat anti-muntah) karena muntah dapat mengurangi efektivitas karbon aktif (charcoal).
b. Adsorbsi obat pada activated charcoal
Tidak dapat diadsorbsi | Dapat diadsorbsi |
- Zat asam - Zat alkali - Sianida - DDT (insektisida) - Etanol - Etilen glikol - Garam Ferrous - Timbal (Pb) - Litium - Merkuri - Metanol - Bahan pelarut organik | - Aspirin - Benzodiazepine - Carbamazepine - Antagonis kalsium - Dapsone - Digoxin - Ekstasi (MDMA) - Paraquat (herbisida) - Fenobarbital - Kuinina - Teofilin - Antidepresan trisiklik |
c. Memaksimalkan eliminasi obat
- Activated charcoal
Obat yang telah menempel pada arang aktif (activated charcoal) akan melewati dinding usus dan diserap kembali ke dalam usus melalui perbedaan konsentrasi. Hal ini akan meningkatkan eliminasi obat dari tubuh.
- Eliminasi renal
Modifikasi pH urine dapat digunakan untuk meningkatkan eliminasi obat yang memiliki sifat elektrolit lemah. Mengubah pH urine bertujuan untuk meningkatkan ionisasi obat, sehingga menurunkan penyerapan kembali obat di ginjal.
Sebagai contoh, Salisilat (asam lemah) akan diekskresikan lebih cepat dalam urine yang bersifat alkali. Penyesuaian pH urine dapat dilakukan dengan memberikan Sodium Bicarbonate melalui infus intravena.
- Hemodialisis
Hemodialisis digunakan untuk mengeluarkan obat yang berada dalam jumlah tinggi di dalam plasma darah. Proses hemodialisis bergantung pada difusi obat dari darah melalui membran semipermeabel ke cairan dialisis.
Hemodialisis biasanya digunakan pada pasien yang mengalami toksisitas obat akibat Etilen glikol, Litium, Metanol, Fenobarbital, Salisilat, dan Sodium valproat.
d. Pemberian andidot spesifik
- Antagonis reseptor kompetitif
Antagonis ini bekerja dengan bersaing untuk mengikat reseptor obat. Sebagai contoh, pemberian atropin pada keracunan insektisida organofosfat bertujuan untuk menghentikan efek parasimpatik yang berlebihan akibat peningkatan kadar asetilkolin.
- Agen khelat
Antidot jenis ini bekerja dengan membentuk kompleks dengan obat dalam tubuh sehingga menurunkan konsentrasi obat yang bersirkulasi secara bebas. Salah satu contohnya adalah natrium kalsium edetat (EDTA) yang digunakan pada keracunan timbal.
- Bahan yang memengaruhi metabolisme obat
Antidot dalam kategori ini bekerja dengan mempengaruhi metabolisme obat di dalam tubuh. Sebagai contoh, fomepizol adalah inhibitor kompetitif alkohol dehidrogenase yang digunakan dalam kasus keracunan metanol atau etilena glikol untuk menghambat pembentukan metabolit toksik.
- Antibodi
Antidot dalam bentuk antibodi bekerja dengan membentuk ikatan dengan antigen spesifik dari obat yang bersifat toksik. Contohnya adalah penggunaan fragmen antibodi spesifik yang berasal dari domba untuk mengatasi toksisitas digoksin (Digibind®), meskipun saat ini belum tersedia di Indonesia.
Daftar Obat-Obatan dan Antidotnya
(Sumber tabel : RKZ Surabaya)
Nah, itu tadi hal-hal yang harus kamu ketahui tentang toksisitas obat. Semoga membantumu saat menghadapi situasi tersebut, ya!
Referensi :
Lista, A. D., & Sirimaturos, M. (2021). Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Principles for Toxicology. Critical care clinics, 37(3), 475–486. https://doi.org/10.1016/j.ccc.2021.03.001
Autrup, H., Barile, F. A., Blaauboer, B. J., Degen, G. H., Dekant, W., Dietrich, D., Domingo, J. L., Gori, G. B., Greim, H., Hengstler, J. G., Kacew, S., Marquardt, H., Pelkonen, O., Savolainen, K., & Vermeulen, N. P. (2015). Principles of Pharmacology and Toxicology Also Govern Effects of Chemicals on the Endocrine System. Toxicological sciences : an official journal of the Society of Toxicology, 146(1), 11–15. https://doi.org/10.1093/toxsci/kfv082
Zellner, T., Prasa, D., Färber, E., Hoffmann-Walbeck, P., Genser, D., & Eyer, F. (2019). The Use of Activated Charcoal to Treat Intoxications. Deutsches Arzteblatt international, 116(18), 311–317. https://doi.org/10.3238/arztebl.2019.0311
Guengerich F. P. (2011). Mechanisms of drug toxicity and relevance to pharmaceutical development. Drug metabolism and pharmacokinetics, 26(1), 3–14. https://doi.org/10.2133/dmpk.dmpk-10-rv-062
Mégarbane, B., Oberlin, M., Alvarez, J. C., Balen, F., Beaune, S., Bédry, R., Chauvin, A., Claudet, I., Danel, V., Debaty, G., Delahaye, A., Deye, N., Gaulier, J. M., Grossenbacher, F., Hantson, P., Jacobs, F., Jaffal, K., Labadie, M., Labat, L., Langrand, J., … Cerf, C. (2020). Management of pharmaceutical and recreational drug poisoning. Annals of intensive care, 10(1), 157. https://doi.org/10.1186/s13613-020-00762-9
Skov, K., Graudal, N. A., & Jürgens, G. (2021). The effect of activated charcoal on drug exposure following intravenous administration: A meta‐analysis. Basic & Clinical Pharmacology & Toxicology, 128(4), 568–578. https://doi.org/10.1111/bcpt.13553
Hendriyadi, N. (2022, October 14). Penanganan Toksisitas Obat. RKZ Surabaya. https://rkzsurabaya.com/2022/10/14/penanganan-toksisitas-obat/