Data International Labor Organization (ILO) tahun 2020 menyebut bahwa 70 persen tenaga kesehatan di seluruh dunia adalah perempuan. Fenomena ini, berdasarkan artikel jurnal yang disusun Geordan Shannon beserta kolega pada tahun 2019, disebut sebagai “feminisasi profesi kesehatan.”
Sayang, minat perempuan untuk bergerak di dunia kesehatan masih terhalang oleh ketimpangan gender. Nakes perempuan masih belum bisa menentukan arah karier mereka lantaran harus berbenturan dengan faktor-faktor lain. Mulai dari keluarga, kerabat dekat, orang tua hingga pandangan patriarki-konservatif yang masih kental di masyarakat Indonesia.
Berangkat dari fakta tersebut, peneliti Ade W. Prastyani dari Center for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada melakukan riset kualitatif terkait pengaruh tuntutan sosial kepada upaya tenaga kesehatan untuk mengasah kemampuan profesional mereka.
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah minat perawat untuk bergabung dengan Nusantara Sehat, yakni upaya pemerintah melakukan pemerataan distribusi tenaga kesehatan. Sejak berjalan pada tahun 2015, program tersebut sudah mengirim lebih dari 7.000 perawat ke daerah-daerah terpencil dan terpelosok untuk mengabdi.
Selain perawat, ada delapan profesi tenaga kesehatan lain yang berpartisipasi dalam Nusantara Sehat. Yakni dokter, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, analis laboratorium kesehatan, kefarmasian, serta tenaga gizi.
Banyak perawat yang tertarik untuk ikut Nusantara Sehat. Alasannya adalah mereka melihat kesempatan menimba pengalaman dan pengembangan karier jadi terbuka lebar. Terlebih harus diakui, hingga saat ini, daya serap lulusan Akademi Keperawatan dan Akademi Kebidanan masih jauh dari kata ideal. Tapi, niatan mulia tersebut terhalang beberapa hal.
Dari 48 orang tenaga kesehatan yang sedang dalam kontrak aktif atau selesai kontrak program Nusantara Sehat, Ade turut menemukan fakta bahwa keputusan perihal lokasi kerja harus mendapat persetujuan dari keluarga dekat.
Dari penjabaran singkat ini, bisa disimpulkan bahwa orang tua, keluarga dan pernikahan jadi faktor-faktor penentu arah karier seorang perawat.
Seorang bidan mungkin mengurungkan niat untuk ikut Nusantara Sehat karena tidak mendapat izin suami. Di beberapa kasus lain, keinginan orang tua untuk melihat anaknya segera berumah tangga menghalangi niat mengabdi di daerah terpencil selama dua tahun. Belum lagi jika ternyata suami menganggap sang istri tak lagi wajib bekerja setelah menikah.
Lantas bagaimana dengan yang sudah bertugas selama dua tahun di Nusantara Sehat? Faktor-faktor pengaruh tersebut masih jadi penentu arah karier seorang perawat. Bisa saja seorang perawat memilih menepi sementara dari aktivitas berkerja lantaran ada tugas untuk menjaga orang tua, sehingga tak tega untuk meninggalkan mereka sendirian.
Pada akhirnya, peran gender yang masih kaku dalam masyarakat konservatif seperti di Indonesia membatasi pilihan karier seorang tenaga kesehatan perempuan. Ade menulis bahwa dampaknya akan terasa pada posisi ekonomi dan kuasa profesional yang dimiliki di sistem kesehatan.
Keputusan suami, yang justru kerap sepihak, harus diterima oleh sang istri dengan lapang dada. Entah tak diperbolehkan bekerja jauh dari tempat tinggal atau malah diminta berhenti dengan alasan “melayani suami.” Tak cuma dalam kasus Nusantara Sehat, tapi juga dalam upaya melanjutkan karier secara keseluruhan.
Ade menulis bahwa masyarakat harus melihat dampak dari masih berlakunya peran gender ini terhadap distribusi tenaga kesehatan. Jumlah yang terus meningkat tentu akan dirasa percuma jika tak diiringi dengan distribusi kerja yang lebih merata, alih-alih “menumpuk” di wilayah tertentu.
Dampak dari peran gender ini sendiri disebut Ade bisa dirunut dari sistem pendidikan dan sistem kesehatan yang luput mempertimbangkan faktor gender. Penting untuk menggarisbawahi bahwa keterwakilan perempuan dalam tenaga kerja profesi kesehatan akan menjadi kekuatan dan keuntungan bagi masyarakat sendiri.
Jadi, jika semua mau mendiskusikan secara terbuka, kita akan mengerti apa yang diinginkan perempuan untuk kariernya. Sebab, manusia tak berhak menyetir pilihan manusia lainnya, kan?
Referensi :
- Shannon, G., Minckas, N., Tan, D., Haghparast-Bidgoli, H., Batura, N., & Mannell, J. (2019). Feminisation of the health workforce and wage conditions of Health Professions: An exploratory analysis. Human Resources for Health, 17(1). [https://doi.org/10.1186/s12960-019-0406-0](https://doi.org/10.1186/s12960-019-0406-0)
- Ade W. Prastyani Research Associate. (2022, April 11). Riset Tenaga kesehatan perempuan: Himpitan peran gender Sangat Pengaruhi Karier Mereka. The Conversation. DIakses pada 18 July 2022, melalui [https://theconversation.com/riset-tenaga-kesehatan-perempuan-himpitan-peran-gender-sangat-pengaruhi-karier-mereka-129219](https://theconversation.com/riset-tenaga-kesehatan-perempuan-himpitan-peran-gender-sangat-pengaruhi-karier-mereka-129219)