Lonjakan kasus campak di Indonesia menjadi sorotan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO mencatat bahwa dari 1 Januari 2023 sampai 3 April 2023, ada total 2.161 suspek campak yang dilaporkan. Dari kasus tersebut, sebanyak 848 dikonfirmasi laboratorium dan 1313 kompatibel secara klinis telah dilaporkan di 18 dari 38 provinsi di Indonesia.
Selain itu, peningkatan kasus campak sejak tahun 2022 lebih tinggi ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Dari data terkini dan informasi yang disediakan oleh Kemenkes, risiko campak secara keseluruhan di tingkat nasional dinilai tinggi. Statusnya pun sudah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) sejak Januari 2023.
"Campak adalah penyakit endemik di Indonesia dan dilaporkan setiap tahun. Tapi, pada tahun 2022 dan 2023, telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah kasus yang dikonfirmasi, dibandingkan dengan yang dilaporkan setiap tahun sejak 2018," tulis WHO di laman resminya seperti dikutip Sejawat for Her pada Selasa (2/5/2023).
Menyoal data yang dihimpun WHO, di antara 2.076 kasus yang dikonfirmasi dengan informasi usia yang tersedia, 95 persen atau 1.978 kasus diantaranya diderita oleh balita dan anak-anak yang berusia antara 1 hingga 14 tahun.
Di antara kasus yang dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium, sebanyak 75 persen belum menerima dosis MCV apapun. Sedangkan sebanyak 11 persen menerima satu dosis, 10 persen menerima kedua dosis, dan riwayat vaksinasi tidak diketahui sebanyak 3 persen.
Kemenkes sendiri sudah mengonfirmasi bahwa wabah campak yang terjadi saat ini adalah akibat dari kekebalan populasi yang kurang optimal, termasuk anak-anak tanpa vaksinasi campak. Selain itu, vaksinasi campak diakui tidak optimal sejak 2020 atau selama pandemik COVID-19 berlangsung.
Selain itu cakupan kegiatan imunisasi tambahan vaksin campak (MCV-SIA) terbilang rendah pada tahun 2022, terutama di provinsi berisiko tinggi. WHO menyebut bahwa banyak orang tua di provinsi berisiko tinggi merasa ragu-ragu untuk membawa/mengizinkan anaknya mendapat vaksin. Di sisi lain, terbatasnya kapasitas untuk imunisasi tanggapan wabah (ORI) juga menjadi faktor lain yang memengaruhi.
"Kemungkinan kasus campak kurang terdeteksi dan kurang dilaporkan karena tidak tersedianya reagen laboratorium untuk konfirmasi kasus. Jumlah kasus suspek campak yang dilaporkan dalam Early Warning Alert and Response System (EWARS) terus meningkat sejak minggu pertama tahun 2023," jelas WHO.
WHO pun merekomendasikan untuk mempertahankan cakupan vaksinasi berkelanjutan minimal 95% dengan dosis pertama dan kedua vaksin MCV, serta memperkuat pengawasan epidemiologis campak dan rubella terpadu untuk mencapai deteksi tepat waktu dari semua kasus yang dicurigai di fasilitas layanan kesehatan publik hingga swasta.
"Sangat penting untuk mengenali dan mengobati komplikasi campak dengan cepat untuk mengurangi keparahan dan kematian penyakit. Komplikasi parah dari campak dapat dikurangi melalui perawatan suportif yang memastikan nutrisi yang baik, asupan cairan yang cukup, dan pengobatan dehidrasi dengan larutan rehidrasi oral yang direkomendasikan WHO," demikian petikan pernyataan WHO.
"Solusi ini menggantikan cairan dan elemen penting lainnya yang hilang melalui diare atau muntah. Antibiotik harus diresepkan untuk mengobati infeksi mata dan telinga serta pneumonia," lanjut WHO.
Kementerian Kesehatan sendiri telah melakukan kegiatan imunisasi tambahan (SIA) sejak awal tahun 2023 dengan target anak usia <15 tahun untuk provinsi berisiko tinggi (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat), usia 9-59 bulan untuk provinsi di Jawa-Bali, dan 9 bulan sampai 12 tahun untuk seluruh provinsi yang tersisa.