Tulisan ini dibuat sebagai refleksi dan bertepatan dengan Hari Internasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati pada 25 November.
Tenaga Kesehatan, termasuk perawat, adalah salah satu profesi yang rentan mendapat kekerasan. Bahkan, bagi sebagian pasien, mereka ibarat harus menjadi "keranjang sampah" sasaran kemarahan dan keluhan atas banyak hal. Mulai dari makanan tidak enak, proses administrasi lelet, hingga kalau dokter jaga tak kunjung tiba.
Data PPNI menyebut bahwa dari tahun 2020-2021 (dua tahun awal pandemi COVID-19), ada 9 kasus penganiayaan perawat yang mereka dapatkan. Salah satunya terjadi di Puskesmas Pameungpeuk, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada 23 Juni 2021. Seorang perawat laki-laki dianiaya oleh keluarga pasien yang terpapar virus tersebut.
Dilansir oleh Tirto.id pada 28 Juni 2021, ahli sosiologi bencana Sulfikar Amir menyebut bahwa tindak kekerasan ini terjadi akibat krisis kepercayaan publik terhadap otoritas kesehatan menurun drastis. Alhasil, sebagai sifat naluri alamiah manusia, melawan (dalam konteks kekerasan) jadi hal yang dilakukan.
Namun, Sulfikar menyebut bahwa ini membuat perawat sebagai garda terdepan di masa pandemi justru kian rentan. Tak cuma terpapar COVID-19, tapi juga kekerasan dari pasien dan/atau keluarganya. Apalagi nakes adalah pihak yang berhadapan langsung pertama kali dengan masyarakat, bukan pejabat atau pemangku kepentingan.
Lingkar kekerasan sendiri sejatinya sudah menjadi momok bagi perawat, bahkan sebelum pandemi COVID-19 terjadi. Memang belum ada data pasti terkait persentase kekerasan terhadap perawat di seluruh Indonesia.
Namun, data tahun 2017 pada sebuah Rumah Sakit di Sumatra menyebut bahwa bentuk kekerasan yang dialami perawat adalah ancaman fisik (79%), penghinaan (77%) dan kekerasan verbal (70%). Dan ini belum membahas kekerasan seksual yang juga kerap dialami.
Selain itu, perawat harus menghadapi potensi kekerasan juga dari lingkungan kerjanya. Sebuah penelitian yang berlangsung pada sebuah RS di Kota Bandung pada 2016 menyebut bahwa pelaku kekerasan terhadap perawat adalah pasien, keluarga pasien, teman sejawat hingga dokter sendiri.
Padahal, keselamatan perawat sudah dijamin oleh negara. Ini tercantum dalam poin pertama Pasal 36 UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, yakni "perawat berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan."
Jika berani melanggar, pelaku kekerasan pada perawat tentu akan berhadapan dengan penegak hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO juga sudah menegaskan bahwa melindungi dan memastikan perlindungan para tenaga kesehatan juga berarti memastikan keamanan dan keselamatan pasien yang mereka layani.
Pada tahun 2020 lalu, WHO menerbitkan pedoman lima langkah perlindungan terhadap tenaga kesehatan yaitu :
1. Membangun sinergi antara kebijakan dan strategi keselamatan pekerja kesehatan dan keselamatan pasien;
2. Mengembangkan dan melaksanakan program nasional kesehatan dan keselamatan kerja tenaga kesehatan;
3. Melindungi tenaga kesehatan dari kekerasan di tempat kerja;
4. Meningkatkan kesehatan mental dan psikologis petugas kesehatan;
5. Melindungi tenaga kesehatan dari bahaya fisik dan biologis.
Dalam artikel Jurnal Skolastik Keperawatan edisi Januari-Juni 2016 tentang kekerasan apda perawat, para responden menyebut kekerasan pasien berasal dari ketidakpuasannya. Yakni rasa tersinggung, perawat terlalu banyak bertanya, atau pelayanan yang lama.
Sedang, untuk kekerasan yang dilakukan dokter, akibat ketidakpuasan seperti penjelasan yang kurang, perawat merasa tidak adil, prosedur yang dilakukan perawat sangat lama, kesibukan yang berlebihan, dan bercanda yang berlebihan.
Masih pada penelitian yang sama, kekerasan berdampak pada psikologis perawat. Yakni bertambahnya beban pikiran, kurang fokus, hingga munculnya rasa enggan menjalankan tugas. Turut pula kelelahan fisik, tidur terganggu, dan rasa tak nyaman serta emosional.
Cara Menurunkan Risiko Agresi
Tindakan agresi yang dilakukan pasien dan/atau keluarganya di klinik atau Rumah Sakit bisa dicegah dengan beberapa hal. Ini berdasarkan panduan yang diterbitkan oleh National Institute for Health and Care Excellence (NICE), organisasi yang bermarkas di Inggris.
1. Pencegahan
Pencegahan tindakan agresif butuh keahlian dan kepemimpinan yang kuat dari nakes. Nakes diharap mampu berkomunikasi dengan jelas, simpatik, tidak menghakimi, dan memberi peran kolaborasi antara pasien dan tenaga medis. Ketika bertemu dengan pasien/keluarganya, perkenalkan diri dengan cara yang sopan serta bersahabat.
Gunakan bahasa yang mudah dipahami, pastikan pasien dan/atau keluarganya paham saat menerima informasi, dan bahasa tubuh yang baik penting dilakukan untuk membina hubungan baik dengan pasien. Apabila pasien mengalami disorientasi atau salah memberikan informasi, tenaga medis tidak perlu mengkonfrontasi atau bahkan mempermalukan pasien.
Membina hubungan baik tidak cuma dengan pasien, tapi juga dengan keluarganya sebab mereka kerap punya informasi yang dibutuhkan. Seperti apa saja yang bisa memprovokasi pasien? Apa saja yang mampu menenangkan pasien? Keluarga turut terlibat dalam menentukan keputusan dan rencana perawatan pasien selanjutnya.
2. De-eskalasi
De-eskalasi adalah cara yang dilakukan, baik secara verbal maupun non-verbal, demi menurunkan kemarahan dan agresi. Metode ini biasa dilakukan dengan berkomunikasi, tapi bisa ditambahkan pemberian medikamentosa pada pasien dengan agresi yang berat. Tujuan dari de-eskalasi yakni memberi distraksi dan menenangkan pasien.
Dalam melakukan de-eskalasi, tenaga medis diharapkan mampu mengenal tanda-tanda awal agresi. Tanda-tandanya meliputi :
- Bicara dengan nada keras;
- Pengguaan bahasa yang tidak pantas, misalnya menggunakan bahasa yang tidak senonoh, dan melakukan intimidasi;
- Memaksakan tindakan yang sebenarnya tak diperlukan;
- Menuduh tenaga medis berkonspirasi terhadap pasien;
- Agresi menggunakan benda mati, seperti melempar atau memukul
- Tindakan agitasi, seperti berjalan kesana-kemari, gerakan bola mata cepat, menginvasi ruang pribadi, mengepalkan tangan, mengatupkan rahang;
- Tidak mengikuti arahan dari petugas berwenang.
Tindakan awal yang dilakukan yakni menjauhkan pasien agresif dari sumber yang memprovokasinya ke ruang yang lebih tenang dan nyaman, tapi dengan tidak mengisolasi tenaga medis. Ruangan tersebut harus bebas dari benda-benda tajam atau benda yang berpotensi membahayakan.
Nakes lalu berkomunikasi dengan pasien untuk mengklarifikasi dan mencari sebab agresi dan mencari jalan keluar terbaik tanpa memprovokasi pasien. Tetap tenang dan bersahabat, kemudian bertanya pada pasien "apa ada yang bisa saya lakukan untuk membantu?"
Postur tubuh adalah media komunikasi non verbal, dan de-eskalasi dilakukan dengan menjaga ketenangan emosional, tidak mengekspresikan kecemasan atau rasa frustrasi di hadapan pasien.
3. Penggunaan Intervensi Restriktif
Jika de-eskalasi dan pemberian obat tak mampu menenangkan pasien agresif, serta ada potensi tindakan yang mencederai diri sendiri dan orang lain, intervensi restriktif bisa dilakukan. Ini biasa dilakukan oleh tenaga medis terlatih, baik secara manual atau mekanik. Alat yang digunakan seperti borgol atau sabuk pengikat. Ini pun tak dilakukan secara rutin, dan harus dihentikan jika pasien sudah tenang.
Ketiga cara di atas tentu tak akan dilakukan jika pasien bisa paham tentang alur kerja di klinik atau Rumah Sakit dan menahan ledakan emosionalnya. Rasa empati, atau memanusiakan sesama manusia, juga diperlukan. Pasien harus paham bahwa perawat punya tugas yang banyak, dan perawat juga manusia biasa.
Dan juga, masyarakat harus tahu bahwa tindakan kekerasan terhadap perawat (yang sudah dilindungi oleh UU Keperawatan) bisa menjebloskan mereka ke penjara.
Referensi :
Overview: Violence and aggression: Short-term management in mental health, health and community settings: Guidance. National Institute for Health and Care Excellence. (n.d.). Retrieved November 25, 2022, from https://www.nice.org.uk/guidance/ng10
Suhendra, & Putri, A. W. (2017, March 22). Risiko Kekerasan Dan Dilema perawat. tirto.id. Retrieved November 25, 2022, from https://tirto.id/risiko-kekerasan-dan-dilema-perawat-cle2
Syambudi, I., & Aziz, A. (2021, August 19). Kekerasan Pada nakes Yang Terus Berulang Saat pandemi covid-19. tirto.id. Retrieved November 25, 2022, from https://tirto.id/kekerasan-pada-nakes-yang-terus-berulang-saat-pandemi-covid-19-gheB
Gagasmakna, O. (2021, April 17). Perlindungan Terhadap tenaga kesehatan ITU kewajiban moral keras. ut est scribere. Retrieved November 25, 2022, from https://gagasmakna.wordpress.com/2021/04/17/perlindungan-terhadap-tenaga-kesehatan-itu-kewajiban-moral-keras/
Arunanta, L. N. (n.d.). Ada 8 Kasus Kekerasan Ke Perawat di 2020-2021, Pelakunya Sipil hingga pejabat. detiknews. Retrieved November 25, 2022, from https://news.detik.com/berita/d-5535953/ada-8-kasus-kekerasan-ke-perawat-di-2020-2021-pelakunya-sipil-hingga-pejabat
Kumari, A., Kaur, T., Ranjan, P., Chopra, S., Sarkar, S., & Baitha, U. (2020). Workplace violence against doctors: Characteristics, risk factors, and mitigation strategies. Journal of postgraduate medicine. Retrieved November 25, 2022, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7542052/