Pertanyaan yang menjadi judul artikel ini mucnul sejak vaksin COVID-19 mulai digunakan secara luas pada akhir tahun 2020. Padahal, wabah yang berasal dari virus SARS-CoV-2 itu baru menyebar di Wuhan pada Desember 2019 dan Januari 2020.
Hanya dalam jangka waktu beberapa pekan setelah Wuhan lockdown, peneliti di lembaga riset dan farmasi di seluruh dunia bisa saling berbagi informasi terkait virus tersebut. Mulai dari ciri, bentuk, hingga mekanismenya dalam tubuh. Studi intensif tentang COVID-19 bersamaan dengan proses mencari vaksin.
Medio November-Desember 2020, setelah jalani tiga tahapan uji klinis, dunia melihat sejumlah perusahaan farmasi mulai mengirim ratusan ribu vialnya ke seluruh dunia. Mulai dari AstraZeneca, Pfizer, Moderna, Sinovac, Sputnik V, Janssen hingga Covaxin. Jenisnya pun beragam, mulai dari vektor adenovirus sampai virus yang sudah dimatikan.
Mengenal Momok Bernama HIV/AIDS
Menurut peneliti J.L. Marx, Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau sindrom) yang timbul akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia. Kerusakan ini terjadi karena infeksi virus HIV atau virus-virus lain yang mirip seperti SIV, FIV, dan lain-lain.
Nama virus penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Jika terinfeksi virus ini, seseorang akan menjadi rentan dengan penyakit berbahaya seperti TBC, pneumonia, kanker serviks dan masih banyak lagi.
Penyakit ini menyebar sebab ada kontak dengan cairan tubuh orang yang sudah lebih dulu terinfeksi yakni darah, cairan anus, cairan vagina, cairan penis, ASI, penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan faktor keturunan. Gejala klinis orang yang terinfeksi virus HIV adalah :
- Demam, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan, batuk, pilek di fase akut, bengkak kelenjar getah bening;
- Tidak bergejala di tiga bulan pertama setelah penularan;
- Demam, ruam kulit, diare kronis, infeksi jamur berulang, berat badan turun drastis, dan kegagalan multiorgan di fase lanjut (AIDS).
Progres Pengembangan Vaksin yang Jalan di Tempat
HIV/AIDS menjadi epidemi global sejak tahun 1981. Pada tahun 1984, Menteri Kesehatan AS Margaret Heckler dalam sebuah konferensi pers memperkirakan vaksin untuk penyakit tersebut akan tersedia dalam jangka waktu dua tahun. Tapi 38 tahun berlalu dan belum ada tanda-tanda atau pun progres dibuat.
Bukan berarti upaya untuk mencari vaksin HIV/AIDS sama sekali tidak ada. Uji klinis vaksin HIV perdana dilakukan lembaga National Institutes of Health (NIH) Clinical Center Bethesda di Maryland Amerika Serikat. Sebanyak 138 sukarelawan kontrol (tidak terinfeksi HIV-AIDS) mengikuti uji klinis ini. Hasilnya? Ada secercah harapan karena seluruh partisipan tak mengalami efek samping serius.
Uji coba fase kedua berlangsung pada 1992 oleh The National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Tak cuma melibatkan sukarelawan kontrol, tapi juga sering melakukan kebiasaan yang jadi faktor risiko seperti menggunakan jarum suntik saat konsumsi narkoba, gonta-ganti pasangan dan pernah/sedang terinfeksi penyakit menular seksual. Sekali lagi, hasilnya menggembirakan.
Tak perlu waktu lama, sebanyak 5.400 sukarelawan itu dalam uji coba vaksin HIV/AIDS tahap ketiga. Dan jelang milenium baru, atau tahun 2000, sebuah inisiatif bernama HIV Vaccine Trials Network (HVTN) yang melibatkan banyak negara menguji dan mengevaluasi kandidat vaksin di semua fase uji klinis. Ternyata, hasilnya tidak menggembirakan.
"Tiga kandidat pertama vaksin HIV gagal total sebab tidak memberi perlindungan terhadap infeksi dan tidak ada penurunan viral load pada sampel yang positif. Bahkan ada vaksin yang justru meningkatkan peluang infeksi HIV (pada sampel orang dengan HIV-negatif, red.)," tulis Ronald C. Desrosiers, peneliti University of Miami Miller School of Medicine, dalam artikel yang ia tulis untuk The Conversation pada Mei 2021
Desrosiers menyebut bahwa dua kandidat vaksin gagal di uji coba tahap ketiga. Banyak juga kegagalan didapatkan karena masalah di luar ranah sains, seperti politik internasional dan keamanan. Kandidat vaksin HIV bernama RV144, yang digadang-gadang sebagai kandidat kuat vaksin HIV/AIDS, justru berakhir tragis.
"Awalnya mereka melaporkan persentase tingkat kekebalan tinggi, tapi hasil analisis statistik terakhir mengungkap bahwa tingkat efektivitas vaksin ini ternyata lebih rendah dari laporan awal," jelas Desrosiers.
Jadi, HIV/AIDS adalah virus yang rumit sehingga menyulitkan peneliti untuk benar-benar membongkarnya secara utuh. Bahkan, sama seperti virus lainnya, HIV terus bermutasi.
Secercah Harapan dari Vaksin COVID-19
Memang progres pengembangan vaksin HIV selama 38 tahun memang terkesan jalan di tempat. Tapi, penelitian vaksin COVID-19 membawa kabar baik.
Proses pembuatan dan uji klinis vaksin penangkal SARS-CoV-2 melahirkan cara baru untuk membangun antibodi, yakni melalui proses vektor adenovirus atau merekayasa virus lain sebagai "senjata" melawan virus lainnya. Cara serupa sebenarnya sudah dipraktikkan pada uji klinis vaksin HIV di dekade 1990-an.
Sejumlah ilmuwan dari Rockefeller University dan Simon Fraser University sudah memulai studi untuk membuat vaksin HIV dengan metode vektor adenovirus terbaru sejak akhir tahun 2021.
"Senang rasanya melihat pengembangan vaksin mRNA (vektor adenovirus) menjadi sesuatu yang sangat berguna," kata Dr. Brad Jones seperti dilansir Weill Cornell Medicine pada 19 Agustus 2022.
"Upaya untuk menyembuhkan HIV pada 1990-an menggunakan teknologi mRNA mengarah pada pengembangan vaksin mRNA COVID-19 saat ini. Sekarang, vaksin mRNA COVID-19 membuka pintu baru untuk penelitian HIV," imbuhnya.
Jadi, apakah kita akan mendapat kabar gembira tentang progres penelitian vaksin HIV dalam beberapa tahun lagi?
Referensi :
Piatak M, Saag MS, Yang LC, Clark SJ, Kappes JC, Luk KC, Hahn BH, Shaw GM, Lifson JD (March 1993). "High levels of HIV-1 in plasma during all stages of infection determined by competitive PCR". Science. 259 (5102): 1749–54.
Brenchley JM, Schacker TW, Ruff LE, Price DA, Taylor JH, Beilman GJ, Nguyen PL, Khoruts A, Larson M, Haase AT, Douek DC (September 2004). "CD4+ T cell depletion during all stages of HIV disease occurs predominantly in the gastrointestinal tract". The Journal of Experimental Medicine. 200 (6): 749–59.
WHO case definitions of HIV for surveillance and revised clinical staging and immunological classification of HIV-related disease in adults and children (PDF). Geneva: World Health Organization. 2007. pp. 6–16.
Gilbert MT, Rambaut A, Wlasiuk G, Spira TJ, Pitchenik AE, Worobey M (November 2007). "The emergence of HIV/AIDS in the Americas and beyond". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 104 (47): 18566–70.
Desrosiers, R. C. (2022, September 13). HIV/AIDS vaccine: Why don't we have one after 37 years, when we have several for COVID-19 after a few months? The Conversation. Retrieved December 1, 2022, from https://theconversation.com/hiv-aids-vaccine-why-dont-we-have-one-after-37-years-when-we-have-several-for-covid-19-after-a-few-months-160690
SARS-COV-2 mrna vaccination exposes latent HIV in lab studies. WCM Newsroom. (2022, August 19). Retrieved December 1, 2022, from https://news.weill.cornell.edu/news/2022/08/sars-cov-2-mrna-vaccination-exposes-latent-hiv-in-lab-studies